BAGIAN 15 - Semudah Membalik Telapak Tangan

49 6 0
                                    

"Andin, duduk dulu." Pak Wahab menepuk kursi di sebelahnya ketika beliau mendapati putrinya sudah bersiap berangkat ke toko keesokan paginya.

Andin menurut. Sudah tiba saatnya dia dikuliahi oleh sang ayah setelah semalam, sang ayah membiarkannya masuk kamar tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu. Bu Astrid yang telah selesai berkegiatan di dapur, ikut duduk. Mencoba menjadi pelindung bila suaminya mulai memojokkan anak bungsu mereka.

"Semalam kamu diantar siapa?" pandangan Pak Wahab, menghujam tepat pada kedua mata putrinya. Beliau memang sengaja tidak menanyakan itu karena tak tega melihat wajah Andin yang begitu kelelahan semalam.

"Temen, Yah." Jawab Andin singkat.

"Temen macam apa yang mau nganterin pulang sampai larut malam begitu?"

Andin diam. Percuma dia menjelaskan panjang lebar tentang siapa Arion bila ujung-ujungnya sang ayah tetap bersikukuh pada pendapat dan sudut pandangnya.

Pak Wahab menarik napas panjang melihat sang putri hanya menunduk menatap tangannya yang berpilin di pangkuan. "Terus motor kamu mana?"

"Di toko, macet waktu Andin mau pulang."

Pak Wahab menggeleng. Motor butut begitu memang sudah seharusnya diganti baru sejak tahun-tahun kemarin. Tapi Pak Wahab menahannya. Motor itu adalah hadiah dari Reyhan untuk Andin. Beliau tak akan dengan mudah menjual dan mengganti dengan yang baru.

"Andin, Ayah nggak mau kalau kamu bergaul dengan laki-laki nggak jelas. Perempuan seumuran kamu bukan waktunya main-main. Entah apapun alasannya. Perempuan yang pulang larut malam, apalagi diantar laki-laki yang bukan mahram, nggak baik. Bakalan jelek di mata orang. Ayah nggak mau dengar selentingan kalau anak ayah yang sholeha juga santun, rusak reputasinya hanya gara-gara ini." Penjelasan Pak Wahab barusan sukses membuat hati Andin tersentil.

Dia tak masalah sang ayah menguliahinya dengan tema apapun, asalkan jangan sampai berbau tuduhan macam itu. Belum lagi beliau menganggap Arion yang selama ini sering membantu dan menolongnya dengan sebutan 'laki-laki nggak jelas'. Entah kenapa membuat hati Andin tak terima mendengarnya. Sama saja sang ayah mengikrarkan bahwa beliau tak percaya pada anak gadisnya itu.

Bu Astrid siap bersuara, namun Pak Wahab menahannya. "Kita nggak mau berdebat pagi ini, Bu."

Andin ingin sekali membantah, tetapi seperti yang dia pikirkan tadi, percuma. Tetap dia yang salah nanti. "Iya, Ayah." Hanya itu jawabnya. Andin merasa hari ini, sudah cukup sang ayah membuatnya tersudut. Jangan lagi menuduh Arion yang tidak-tidak.

Setelah mengembuskan napas panjang beberapa saat tanpa menegakkan pandangan, Andin meraih tangan ayahnya untuk sungkem.

"Nggak sarapan dulu, Nak?" cegah Bu Astrid saat Andin beralih dan mencium pula punggung tangannya.

Andin hanya menggeleng. "Assalamualaikum." Pamitnya tanpa menoleh lagi.

Dia masuk ke kamarnya sebentar untuk mengambil tas, lalu keluar menuju teras dan bersiap mengenakan alas kaki. Tetapi kegiatannya terhenti saat didapatinya tubuh menjulang seorang pemuda sudah berdiri di halaman, siap masuk teras. Andin mengangkat wajahnya dan terkesiap.

"Mas Arion?" matanya membelalak.

Pemuda itu melangkah lebih dalam menuju teras dan kini berdiri sepenuhnya menghadap Andin. Mereka saling tatap beberapa saat. Wajah Andin yang semula memerah menahan tangis, kini sedikit melembut. Senyuman dipaksakan, menghias ujung bibirnya saat Arion semakin menelisik raut mukanya.

Melihat ekspresi Arion yang agak mengeras, sepertinya pemuda itu mendengar 'isi kuliah pagi' dari Pak Wahab sejak tadi. "Boleh ya, saya ketemu ayah sama ibu kamu?" tanyanya kemudian membuat mata Andin semakin membulat.

A-KU & A-MUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang