Dua Puluh Empat

3K 218 3
                                    

Pria itu kini tengah tersenyum tipis melihat Oryza yang saat ini tengah menggenggam tangannya, meskipun demikian senyum itu tidak berlangsung lama karena Oryza buru-buru melepaskan tangannya, seakan baru tersadar.

"Gausah kepedean ya, gue megang tangan lo karena.. karena takut lo bakal ngelempar juga mangkok baksonya Tiar, kan sayang kuah bakso punya dia belum diabisin, biasanya sama Tiar tuh kuah dicampur pake nasi trus dimakan sama kerupuk biar kenyang." Oryza memberikan alasan asal-asalan atas tindakan anehnya barusan, sementara Tiar yang mendengar hal itu langsung memerah wajahnya

"Ngaco lo Ry! Mana ada gue begitu!!" Protes Tiar segera, ia tidak terima atas ucapan Oryza tentangnya.

Rio yang sudah tidak tahan lagi dengan pembicaraan bertemakan kuah bakso itu akhirnya memutuskan langsung  memegang tangan Oryza lalu menariknya agar wanita itu mengikuti langkahnya menuju area belakang sekolah yang sepi, dan sesaat sebelum mereka menghilang di balik bangunan sekolah, sayup-sayup terdengar suara teriakan Tiar yang pilu dari kejauhan.

"Ory! Ni makanan siapa yang bayar?! Gue lagi gak pegang duiiiitttttttttt...."

****

"Lo masih inget gue kan?" tanya Rio dengan ekspresi penuh kemenangan ketika ia dan Oryza telah tiba di belakang sekolah.

"Maksudnya?!" alih-alih menjawab, Oryza malah balik bertanya.

"Pegangan tangan tadi.. lo ngelakuin hal itu karena lo tau itu satu-satunya cara buat nenangin gue." jawab Rio kemudian.

"Kan tadi gue udah bilang, gue cuman ga mau lo ngikut ngelempar mangkok bak-" belum sempat Oryza menyelesaikan omongannya, Rio dengan tega langsung memotong dengan nada sinis

"Bullsh*t." timpal Rio langsung dengan sepatah kata kotor itu.

Oryza mengepalkan tangannya, betapa ia ingin mengarahkan tinjunya ke wajah dari sosok manusia kasat mata yang selalu saja membuatnya kesal itu, namun mengingat sifat temperamennya Rio, maka tidak menutup kemungkinan pria itu akan membalas tinjunya dengan kekuatan berkali-kali lipat, dan itu akan menjadi akhir yang tragis bagi hidupnya.

Oryza dengan berat hati segera mengurungkan niatnya itu.

"Kalo lo ga mau denger omongan gue, yaudah gausah ajak gue ngomong!" ucap gadis itu dengan kesal.

"Ucapan lo tadi udah nyakitin hati gue, Ry."

Kata Rio tiba-tiba dengan suara pelan, lengkap dengan wajahnya yang terlihat.. sedih.

'Ucapan yang mana lagi?!' Oryza membatin. Setelah di pikir-pikir, hampir 90% semua ucapan yang pernah ia lontarkan kepada Rio berpotensi menyakiti hati pria itu maupun siapapun yang mendengarnya.

Sikap diam Oryza akhirnya membuat Rio membuka suara kembali.

"Gue ngga mau ngejauh dari lo, dan gue juga ngga mau lo ngejauh dari gue, paham?" tanya Rio, kali ini dengan nada persis seperti guru TK yang baru saja menjelaskan kepada muridnya bahwa 1 ditambah 1 sama dengan 2.

"Ngga, gue ga paham." jawab Oryza langsung dengan sikap menantang. Ia membutuhkan penjelasan lebih atas ucapan pria itu barusan.

Rio menghembuskan nafas panjang, nampak jelas wajahnya yang terlihat semakin putus asa.
"Seperti yang lo denger dari nyokap
lo, kita dulu pernah temenan akrab Oryza, dan mungkin lo ngga inget tapi.. waktu kecil lo pernah nyelametin gue."

"Hah?!" Oryza tidak menyangka dengan fakta yang barusan ia dengar.
'Gue nyelametin cecunguk ini?!' Ia membatin dalam hati, mempertanyakan sisi kewarasan kepada sosok dirinya yang dulu.

"10 tahun yang lalu, gue ngga akan pernah ngelupain hal apa yang pernah lo lakuin buat gue saat itu, Oryza."

*Flashback on*

"Rio, seperti biasa ya.. karena badan lo paling kecil diantara kita, jadi lo kita pilih jadi monster, gue jadi Ranger merah, Budi sama Dimas jadi Ranger biru sama ijo, Rudi Ranger kuning, trus Tono jadi Ranger pink." Perintah seorang anak bertubuh tambun berusia 8 tahun dengan ingus kental bewarna hijau kekuningan keluar dari salah satu lubang hidungnya.

Anak-anak yang bernama Budi, Dimas dan Rudi mengangguk-angguk setuju, sementara anak yang bernama Tono seketika meloncat kegirangan sambil bertepuk tangan, baju dan celananya yang berwarna pink berkibar -kibar ditiup angin, respon Tono berbanding terbalik dengan respon anak bertubuh paling kecil dan kurus yang bernama Rio, wajah anak itu seketika merengut mendengar dirinya yang kembali lagi menjadi monster, ia sebenarnya hari ini berharap menjadi salah satu bagian dari Rangers yang nantinya bertugas menumpas kejahatan, sebelum orangtua masing-masing datang menyuruh mereka pulang untuk makan siang.

"Ngga mau jadi monster! Maunya jadi Ranger juga!" Protes Rio.

"Heh bocah! Gausah banyak tingkah ya, masih sukur kita ajakin main!" Ucap si Anak Tambun yang tidak sadar bahwa dirinya sendiri juga termasuk golongan bocah.

Setelah terjadi perselisihan sengit, akhirnya Rio menyerah, ia kini sedang berdiri dengan ekspresi bagaikan mangsa yang tengah dikerumuni para predator berkedok Power Rangers.

Ia sebenarnya tidak keberatan jika harus mendapatkan peran sebagai monster, andai saja jika si Anak Tambun beserta ke 3 temannya tidak memulai peran mereka dengan memberikan pukulan secara membabi-buta ke tubuh kecilnya.

"Mampus kau monster jahat!" Teriak mereka secara terus-terusan sementara kaki dan tangan mereka memukul dan menendang tubuh Rio.

"Sa..sakit.. tolong berhenti.." pinta Rio dengan  suara lirih, matanya memejam menahan rasa sakit disekujur tubuhnya, sementara tangannya dengan susah payah berusaha melindungi area wajah dan kepala dari amukan sekumpulan anak-anak bandel itu.

"Jangan ganggu kak Rio!"

Tiba-tiba  saja terdengar suara anak kecil perempuan berteriak nyaring sembari menyebut namanya, Rio membuka matanya perlahan dan mendapati munculnya sosok Oryza yang dengan napas terengah-engah berlari ke arah rombongan Rangers abal-abal  itu sembari tangan kecilnya mengacung-ngacungkan kemoceng bulu ayam berwarna coklat.

****

Be Mine, Please? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang