🌸 Sekolah Baru 🌸

308 35 3
                                    



Happy Reading



***

Hari ini adalah, hari di mana Fabian dan Nara masuk sekolah baru mereka, Bian yang sedang mengancingkan baju seragamnya di depan cermin, Menghela napas ketika melihat baju yang ia kenakan. Seragam baru dengan lambang sekolah baru.

Begitupun Nara, gadis itu terlihat diam saja duduk di meja rias kamarnya, hatinya berdegup kencang. Hari ini adalah hari di mana dia harus bisa beradaptasi di lingkungan baru, sama seperti dulu ketika dia baru masuk di sekolah SMA tri sakti. Nara harus terbiasa dengan suasana baru dan pasti orang-orang baru.

Mereka pasti akan memandangnya sebelah mata, sama persis di sekolah lamanya. Namun siapa peduli, toh dia sekolah untuk mencari ilmu bukan mencari masalah.

Nara segera mengambil tas dan menghampiri Fabian yang masih di kamarnya. Nara berhenti di depan pintu kamar Bian, ia bisa melihat cowok itu masih berdiri di depan cermin sambil memakai almamater berwarna hitam miliknya. Sadar ada Nara di depan pintu, Bian berbalik dan tersenyum menghampiri gadis itu.

"Sudah siap?" kata Bian.

Nara mengangguk pelan. "Siap tapi kok mukanya lesu gitu," katanya dan merangkul Nara.

Gadis itu diam sambil menghela napas panjang. "Tegang ya?" Nara mengangguk membenarkan.

"Sama," ucap Bian.

Nara mendongak melihat Bian yang menatapnya. "Tapi kita nggak bisa nolak kan? Ini demi kebaikan kita dan juga kebaikan Om Harris, jangan sampai kita buat Om kecewa," lagi Nara mengangguk setuju.

Pukul setengah tujuh kurang Fabian segera mengajak Nara berangkat setelah mereka sarapan. Jarak tempuh dari apartemen Omnya cukup jauh. Apalagi jika macet tiba, maka dari itu Fabian mengajak Nara berangkat lebih awal.

Nara mengeratkan pelukannya saat Fabian mulai memasuki gerbang sekolah barunya. Meskipun sekolah barunya tidak terlalu besar namun sekolah ini juga salah satu sekolah favorit untuk para murid.

Ketika Fabian memarkirkan motornya, semua murid yang ada di parkiran tampak memandangi kedatangan Fabian dan Nara dengan bingung, Mereka saling bisik.

Bian tidak peduli, setelah turun dan melepas helmnya ia segara menarik tangan Nara menuju ruang kepala sekolah.

Nara menggenggam tangan Bian erat saat samar-samar ia mendengar bisik-bisik mereka.

"Eh! Bukannya dia Fabian anak Tri sakti? Kok mereka pakai seragam kita?"

"Sst! Itu bukannya Bian badboynya Tri sakti, sama  cewek aneh di sekolah itu kan? Kenapa mereka di sini?"

"Ada cogan!"

"Sst! Kita kedatangan cewek aneh!"

Itulah bisik-bisik yang Nara dengar, bukan hanya Nara. Tapi Fabian pun juga mendengar. Namun Bian santai menggandeng Nara melewati mereka.

Tok! Tok! Tok!

Fabian mengetuk pintu ruang Kepala sekolah. Dan membukanya secara perlahan, terlihat di dalam ada wanita paruh baya dan juga wanita yang masih cukup muda menyambut kedatangan dengan senyum. Yang membuat Bian terkejut, ada Om Harris di sana.

"Fabian, Nara. Sini masuk nak." suruh Om Harris.

Fabian masuk di susul Nara di belakangnya. "Om sudah urus semuanya, dan Ibu ini adalah guru kalian untuk hari ini." ujar Om Harris, Ibu yang masih cukup muda itu tersenyum lembut pada Bian dan Nara.

"Iya Ibu ini adalah Guru bahasa kalian, selamat datang di sekolah kami. Semoga kalian betah bersekolah di sini ya," ucap kepala sekolah yang Bian tau bernama Ibu Fatma. Di lihat dari name tagnya.

"Iya Bu, terima kasih."

"Oke, kalau gitu Om pamit. Belajar yang rajin. Kurang-kurangin pacarannya," goda Om Harris, membuat Ibu dan Kepala sekolah tertawa pelan.

Sementara Bian hanya tersenyum masam, lalu meraih tangan Omnya untuk mencium punggung tangannya, di susul oleh Nara.

Setelah Om sudah pergi guru yang bernama Ibu Elis itu pun segera mengajak Fabian dan Nara untuk ke kelas mereka.

Fabian yang berada di belakang Ibu Elis tampak santai menyusuri koridor sekolah, berbeda dengan Nara yang hanya mampu menunduk.

Saat Bu Elis membuka pintu, suasana kelas menjadi sepi sunyi. "Selamat pagi," sapa Ibu Elis.

"Sebelum kita memasuki pelajaran pertama, Ibu mau memberitahu kalian. Bahwa kita kedatangan murid baru," ucap Ibu Elis ketika mereka menjawab ucapan salam dan sapaannya.

Ibu Elis memberi kode agar Fabian dan Nara untuk masuk. Semua tampak terkejut anak baru itu adalah Fabian dan Nara. Yang mereka lihat tadi di koridor sekolah.

"Perkenalkan namamu nak," Bian mengangguk dan menatap datar para siswa dan siswi di sana.

"Perkenalkan nama saya Fabian Aldrich," singkat dan jelas Bian ucapkan, bahkan dia tidak memakai nama belakang Papanya.

"Nara," panggil Ibu guru ketika Nara hanya diam.

Bian meraih tangan Nara dan di genggamnya, ia tau sang gadis tengah tegang. "Nama saya Nara Sifabella." cukup singkat bahkan lebih singkat dari pada Fabian.

Ibu Elis tersenyum memaklumi, dan menyuruh keduanya untuk duduk. Seperti biasa, Fabian memilih tempat duduk paling belakang dan paling pojok. Semua masih tampak berbisik-bisik, mata mereka juga sering melirik kearah Fabian dan Nara. Semua mulai tenang ketika Ibu Elis mau memulai pelajarannya.

<𝕭𝖎𝖆𝕹𝖆>


Di tempat lain seorang pria bertubuh tegap dan gagah, Berjalan dengan penuh amarah.

Brak!

Suara pintu di buka secara paksa membuat seseorang yang ada di dalam tampak terkejut. "Maksud kamu apa! Memberi fasilitas untuk Fabian! Menyekolahkan dan memberikanya tempat tinggal!" bentaknya, menatap tajam Om Harris yang masih santai duduk di kursi kerjanya.

"Kamu tau! Aku sengaja mengusirnya, agar dia sadar!"

"Sadar dari apa?" potong Om Harris.

"Yang seharusnya sadar itu kamu Mas! Kamu sebagai orang tua. Tidak bisa memberi apa yang Fabian mau!"

"Kamu pikir harta. Bisa buat Fabian bahagia? Nggak Mas!" hardiknya.

"Orang tuanya saja tidak peduli, maka biarkan aku yang memperdulikan Fabian." Pak Chakra tersenyum miring.

"Punya apa kamu!" remehnya.

"Aku memang bukan seperti kamu, yang banyak uang, pengusaha sukses di seluruh dunia. Tapi aku punya keluarga yang aku cintai. Dan aku kasihi."

"Harta tidak bisa membahagiakan segalanya? Yang membahagiakan kita adalah keluarga. Kebersamaan kita dengan orang-orang yang kita cinta, itu jauh bisa buat kita bahagia."

"Sekarang aku tanya? Apa Mas tau Hobi Fabian? Kesukaan Fabian? Apa yang Fabian inginkan? Dan apa yang Nggak Bian suka? Nggak ada kan?" Pak Chakra tampak semakin emosi tangannya mengepal kuat.

"Jadi dari mana dasarnya Mas mau membahagiakan Fabian. Kamu aja nggak tau kebahagiaan Fabian itu apa?"

Memang benar, meskipun Fabian adalah anaknya. Dirinya tidak tau apa-apa tentang putranya itu. Bahkan dia tidak tau bagaimana prestasi ataupun kegiatan sang putra di sekolahnya. Pak Chakra hanya mengandalkan Mbok Inah.

"Jangan halangi aku! Untuk Fabian. Pedulikan saja uangmu! Biar Bian menjadi urusanku." kata Om Harris lagi.

Pak Chakra tidak bisa berkata apapun. Dan ia memilih pergi dengan rasa marah, karena Harris benar-benar membuatnya tidak bisa menjawab apapun yang di lontarkan oleh adiknya itu.

***

-ᵀᵒ ᵇᵉ ᶜᵒⁿᵗⁱⁿᵘᵉ-

BianNa (Fabian & Nara) END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang