Firasat

5.3K 355 60
                                    

Ketukan pintu membuatku seolah sadar dari mimpi yang panjang, kulirik jam digital di atas nakas. Waktu menunjukan pukul 06.30 pagi. Keringat dingin membanjiri pelipisku, entah kenapa aku merasa firasat yang buruk untuk hari ini.

"Nyonya ... Nyonya ...." Terdengar suara Bibi dari luar. Dari suaranya Bibi seperti sedang gugup.

"Iya Bi!" teriakku seraya beranjak dari tempat tidurku.

Entah ada hal apa sampai Bibi harus berteriak pagi-pagi? Apakah mungkin terjadi sesuatu dengan Tuannya yang semalam aku suruh tidur di luar? Atau jangan-jangan -----

Ku pakai sandal bulu milikku, ku buka pintu perlahan dan langsung terlihat sosok Bibi dengan guratan wajah cemas.

"Nyonya! Ada masalah, Silvani ada di ruang kerja Pak Zein sekarang!" serunya.

"Memangnya ada apa, Bi?" tanyaku yang masih bingung dengan penjelasan Bibi.

"Mbak Arini!" cetusnya lagi.

"Ya sudah ... sekarang kita ke sana saja," ucapku seraya berjalan menuju tangga.

Entah ada apa sebenarnya? Bibi mungkin terlalu panik sehingga tidak bisa menjelaskannya secara detil. Bertanya lebih hanya akan membuatnya semakin panik. Aku berjalan menuruni anak tangga, lurus terus melewati dapur menuju ruang kerja suamiku.

Pintu ruangan itu tidak di tutup, langsung saja aku masuk dan mendapati Mba Arini sedang bersimpuh dan menunduk di lantai. Silvani si bule turut serta di sana dengan koper yang sudah rusak gemboknya. Sementara laki-laki yang menjadi suamiku duduk membelakangi mereka berdua menatap ke arah jendela.

Sebuah bantal dan selimut masih tergeletak di sofa, rupanya Mr. Ben tidur di ruang kerjanya semalam. Ku jumpai Silvani tersenyum ramah kepadaku seperti biasanya, tetapi aku tidak terlalu menanggapinya, langsung saja ku suruh Mba Arini bangun.

"Ada apa Mba? Bangunlah!" Aku mengulurkan tanganku.

Namun, Mba Arini tidak bergeming.

Menyadari kedatanganku Tuan Ben langsung memutar posisinya menghadap ke arahku. Ia menatapku dengan wajah serius.

"Apa kamu tahu yang sudah diperbuat Mba Arini?" tanya Ben dengan tatapan tajam setajam silet.

"Memangnya apa?" tanyaku balik seolah aku tidak tahu.

"Dia telah membongkar koper Silvani, dia juga mengambil barang milik Silvani," kata Ben. Ia terlihat menahan emosinya hari ini.

Deg!

Apa yang menjadi kekhawatiranku akhirnya benar-benar terjadi, ku lirik Mba Arini yang masih bersimpuh, ia menatap dengan mata seolah meminta perlindungan. Aku tidak ingin gegabah. Aku mencoba mencari posisi yang nyaman untukku duduk. Ku singkirkan selimut dan bantal di atas sofa ke pinggir, kemudian aku duduk di sana.

"Apa kamu tahu barang apa yang diambil oleh Mba Arini?" tanyaku kemudian.

"Apapun itu seharusnya dia tidak menjadi pencuri! Bagaimana anda bisa merekrut seorang pencuri? Bagaimana anda mendidiknya? Apa dia tidak punya etika?" cerca Silvani.

"Kamu tidak perlu mempertanyakan etika orang lain, perbaiki saja etikamu!" cetusku kesal.

"Bagaimana Pak, saya meminta keadilan. Privasi saya telah terganggu, ia membongkar barang-barangku dan mencurinya! Saya ingin membawa ini sampai ke pihak berwajib," ujarnya terisak. Aku tahu dia hanya sedang berakting.

Ben terlihat berpikir, ia melihat ke arahku sekilas kemudian melihat ke arah Mba Arini entahlah apa yang akan ia putuskan. Silvani sengaja menyiram bensin di api yang sudah menyala antara aku dan Ben. Ia memanfaatkan kondisi saat aku dan Ben sedang tidak baik.

Istri BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang