Rindu setengah mati

13.4K 483 45
                                    

Istri Bayaran
#IstriBayaran

Bagian Simbilinbilis : Rindu setengahmati

Tiga bulan? Kira-kira mau diapakan selama tiga bulan? Apa Nenek akan menggemblengku layaknya prajurit tentara? Atau kerja bakti layaknya pekerja sosial?

Aku terus mondar - mandir di kamar Ben, dari pintu jalan ke ranjang, dari ranjang jalan ke pintu, berpikir keras kira-kira hari ini aku akan disuruh ngapain sama Nenek.

Terdengar ketukan pintu beberapa kali, ku buka perlahan pintunya berharap yang datang bukan seorang algojo hukuman ataupun siksaan.

"Nyonya, Nenek sudah menunggu di ruang tamu." ucap seorang asisten rumah tangga yang aku tidak tahu namanya.

"Iya Mbak." Akupun mengikuti sesembak itu dengan berjalan di belakangnya.

Dari jauh terlihat Nenek sedang berbincang dengan seorang wanita yang ku perkirakan usianya hampir sama dengan Nenek, dengan rambutnya sudah putih sebagian, namun digulung rapi. Memakai kacamata yang ada talinya, pakaian serba hitam, sepatu pantofel. Ia menoleh ke arahku dan dengan sedikit senyuman menyeringai seperti pemeran antagonis di film-film.

"Felinda duduklah, beri salam pada Unni Tini." ucap Nenek.

Akupun menurutinya memberi salam, dan kemudian duduk di samping Nenek.

"Salam kenal Nyonya Ben, saya Tini." ucap wanita itu.

"Panggil saja Felinda, Unni." Terdengar sedikit aneh, jika aku memanggilnya Unni.

"Hhahahha ...," Nenek dan wanita itu tertawa secara bersamaan.

"Kamu boleh memanggilnya Makwo ataupun Bibi." ucap Nenek.

Oh pantas saja mereka berdua tertawa.

"Makwo ...," ucapku lagi

"Unni Tini akan mengajarimu dasar-dasar menjadi Nyonya di keluarga Pratama. Beliau sudah bekerja di sini semenjak Nenek baru menikah. Unni ini mengajari semua menantu di keluarga Pratama, untuk menjadi Nyonya yang terhormat dan berpengetahuan luas." terang Nenek

"Semoga Nyonya Ben berkenan belajar dengan orang tua seperti saya." ucap Makwo Tini.

"Felinda mohon bimbingan Makwo." ucapku menundukkan kepala tanda menghormati.

"Mengobrolah dengan santai, Nenek akan mengecek sesuatu di ruang kerja." ucap Nenek seraya meninggalkan aku dan Makwo.

Begitu Nenek pergi raut wajah Makwo langsung berubah 185 derajat. Wajahnya berubah menjadi serius.

"Felinda siapa orang tuamu? Perusahaan apa yang orang tuamu miliki? Berapa harga saham di perusahaanmu sekarang? Kamu lulusan dari universitas mana?" tanya Makwo berderet layaknya gerbong kereta Tawang Jaya jurusan Semarang - Jakarta.

Aku bingung menjawab yang mana, pertanyaannya terlalu cepat.

"Ehm ... emm ... saya." Aku berpikir hendak menjawab yang mana.

"Jika kamu tidak memiliki semua itu, maka tidak ada hal apapun yang menjadi alasanmu untuk sombong di depanku." jawabnya.

"Saya tidak berani sombong Makwo, saya tidak memiliki apapun untuk dibanggakan." jawabku.

"Gadis sepertimu justru berbahaya, biasanya memiliki ambisi besar." ujar Makwo Tini.

"Saya tidak memiliki ambisi apapun, saya hanya mencintai suami saya." jawabku.

"Dulu Nyonya Dian juga menjawab seperti itu, nyatanya sampai sekarang dia berambisi besar untuk menjadikan anaknya memiliki perusahaan." jawabnya.

"Saya ... saya ...," Aku terbata karena bingung harus menjawab apa, aku belum sejauh itu memikirkan nasib anakku.

Istri BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang