Surat Perjanjian Pernikahan

17.8K 495 8
                                    

Aku kembali ke meja makan seolah tidak terjadi apapun agar Ben tidak curiga. Kami mulai menikmati berbagai hidangan yang tersaj, dari sayuran hingga seafood semua ditata di atas meja persegi panjang dengan taplak berbunga. Layaknya makan malam di sebuah restauran, meja makan ini ditata dengan piring porcelain, gelas kaca yang tinggi dan beberapa lilin yang menyala.

Entah itu sebuah sandiwara atau itu memang nyata? Tuan Ben mengambilkan beberapa makanan ke piring di depanku seolah ia adalah calon suami yang sangat perhatian.


Nenek yang melihat adegan itu tersenyum dan mulai membuka pembicaraan.

"Fe ... bagaimana awal pertemuanmu dengan Ben?" tanya Nenek membuka percakapan diantara kami.

"Beberapa bulan yang lalu, saya mendapat tugas mewawancarai Ben, dan disitulah awal kami bertemu Nek." jawabku asal saja, padahal belum ada dua minggu kami bertemu.

"Oh ya ... berarti cinta pada pandangan pertama ya Ben. Lalu siapa yang jatuh cinta duluan?" tanya Nenek lagi.

"Tentu saja Ben duluan Nek, dia mendatangi kampusku. Hehehe ...." Aku hanya menjawab sesuai kenyataan saja.

"Benarkah itu Ben?"

"Benar ...." jawab Ben singkat. Matanya sempat melirik sekilas yang seolah ingin memprotes bahwa itu tidak benar.

"Tentu saja Nek, jika saya bertemu dengan Felinda terlebih dahulu mungkin sekarang sayalah yang akan menikahinya." Pak Arnesh ikut-ikutan menjawab.

Aku yang mendengar hal itu nyaris saja tersedak udang yang sedang aku kunyah.

"Kamu harus mencari sendiri yang cantik dan baik seperti Nak Felinda ini." ucap Nenek sambil menatap penuh cinta cucunya itu.

"Tentu saja Nek." jawab Pak Arnesh dengan senyuman.

"Hanya ada satu Felinda di dunia ini dan dia milikku." jawab Ben dengan nada meninggi.

"Jangan terlalu arogan Ben, gadis biasa seperti Fe bukanlah selera Arnesh." Nyonya Dian ikut menimpali, suasana berubah menjadi lebih tegang. Aku merasakan hawa dingin.

"Sudah ... sudah ... jangan terlalu serius. Felinda nanti setelah makan ikut Nenek ya." Nenek mencoba menghentikan perang dingin Nyonya Dian dan Ben.

"Iya Nek." jawabku senang karena hawa dingin itu mulai menghilang.

Aku kembali menikmati makanan yang tersaji di depanku tanpa rasa malu. Aku mengambil dua centong nasi, lalu kemudian udang, kepiting dan beberapa tumisan lainnya ke dalam piringku.

Ketika sedang asyik makan, tiba-tiba Pak Arnesh dan Ben bangkit hendak memberikanku kain lap yang biasanya untuk alas agar baju tidak kotor.


Aku bingung dengan sikap mereka berdua. Nenek dan Nyonya Dian yang melihat hanya diam saja.

"Maaf ... tetapi kamu sangat lucu jika sedang makan. Belepotan kemana-mana." ucap Pak Arnesh.

"Di sini .... " Ben mengarahkan jari telunjuknya ke arah sudut bibirnya.

Aku paham maksud Ben dan aku langsung mengambil lap yang disodorkan oleh Ben untuk mengelap sudut bibirku. Sementara Pak Arnesh kembali meletakkan lap yang ia pegang ke pangkuannya.

Tentu saja aku memilih lap yang di tangan Ben agar aku tidak menjatuhkan wibawa laki-laki itu, bagaimanapun aku sedang bermain peran dengannya sekarang.

**

Selesai makan malam Nenek mengajakku untuk menemaninya beristirahat di kamarnya. Jika aku taksir usia Nenek sekitar tujuh puluhan. Dengan rambut yang nyaris putih semua, dengan potongan rambut sebahu, kulitny putih dan sudah keriput.

Istri BayaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang