06. Tanpa Perlu Memejamkan Mata, Mimpi Buruk itu Ada

234 50 4
                                    

HAPPY READING!

Jendra mematung, menelisik suara memekak yang terdengar samar-samar. Yumna yang berada di samping nya sudah menjerit, mengatakan bahwa itu suara pistol, walau suaranya kurang jelas, Yumna yakin itu. Jendra mencoba mengelak bahwa yang di dengar Yumna salah, alhasil keduanya adu mulut.

"ITU SUARA PISTOL BEGO! GUE DENGER BANG SUMPAH!!!" Yumna histeris, memaksa Jendra untuk memeriksa keadaan di lantai atas.

Jendra kemari untuk mengambil tas nya, ia kira dirinya akan bertemu Dista dan Leon yang sedang berbincang di ruang tengah. Nyatanya tidak, logika nya tidak bekerja pada semestinya, perasaan Jendra di kerubungi kabut yang terasa perih dan sesak.

Ia sudah melanggar prinsip yang ia buat sendiri, namun dia tidak mau ikut campur lebih jauh. Jendra berjanji akan kembali, nanti.

"Kita pulang Na," ajak Jandra yang malah membuat Yumna membelalakan matanya, nampak tidak percaya apa yang di katakan oleh saudara sulung nya.

"GAK ADA WAKTU BUAT JADI ORANG GOBLOK BANG! LO GAK DENGER!? MAU LO BILANG KEDAP SUARA KEK APA KEK ITU JELAS SU-"

"GUE TAU YUMNA! GUE TAU! TAPI LO GAK USAH IKUT CAMPUR! GUE GAK MAU TERLIBAT LEBIH DARI INI," Jendra bersengit, nada suaranya bergetar.

"MAKSUD LO LEBIH DARI INI APA!!!???"

Jendra mengusap wajah nya kasar, Yumna sangat keras kepala. Terpaksa Jendra menarik adiknya itu yang sudah meronta, Jendra tidak peduli jika kakinya di tendang berkali-kali, biarkan gadis itu melepaskan amarahnya kepada dirinya. Jendra rasa, dirinya pantas.

"LEPASIN BANG! LEPASIN!"

"Berisik."

Setelah Yumna di pastikan naik - walau duduknya belum benar - Jendra tetap melajukan motornya dan meninggalkan kediaman rumah Leon.

Dalam perjalanan pulang, Yumna menunduk di balik helm. Air matanya berdesakan untuk keluar, merasa bodoh karna meninggalkan orang di dalam rumah itu dalam bahaya. Mengapa Jendra tidak mau menuruti perkataannya? Mengapa Jendra memilih pergi ketimbang memastikan apa yang terjadi? Pertanyaan itu hanya mengendap di pikirannya, Yumna menggigit bibir. Ketakutan.

Sama halnya dengan Jendra, lelaki itu juga kalut namun ia harus tetap mempertahankan fokusnya untuk mengemudi. Sungguh, Jendra juga tidak mau meninggalkan rumah Leon, tetapi ia sudah berjanji tidak mau ikut campur lagi. Tapi siapa sangka jika rencana nya di luar perkiraannya? Lantas lelaki itu bertanya dalam hati, sebenarnya siapa yang salah disini?

Tidak mau fokusnya terpecah lagi, Jendra hanya menghela nafas dan tetap melajukan motornya membelah jalanan Ibu Kota yang sudah petang. Dalam kekalutan di bawah langit senja, Jendra berbisik,

"Gue bakal kesana Dis, gue janji.."



***



Dista membulatkan matanya, nafasnya sudah naik turun melihat timah panas itu menembus dinding, tepat di sampingnya. Badannya sudah lemas setengah mati namun ia harus berbuat apa? Lelaki yang berada di depannya bersenjata, apa dia harus mati konyol disini?

"Maaf Lea, aku gak bermaksud buat kamu takut. Tolong jangan usir aku, aku kangen kamu Le aku kangen banget," netra Leon menatap wajah Dista penuh rasa sesal dan bersalah. Namun Dista tidak luluh, gadis itu terus menegaskan rahangnya walau dirinya sudah takut dan lemas sedari tadi.

Dista mendengus kasar, balik menatap obsidian Leon yang penuh luka disana, "kalau kamu sayang Lea mu itu, kamu ngga mungkin nyakitin Dista kayak gini. Tolong biarin Dista pergi."

AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang