15. Kilasan Tragedi dari Alam Bawah Sadar

220 34 0
                                    

Happy reading!

Jeritan yang nemekak, hardikan yang meluluh lantakkan jiwa hingga tangis pilu bertumpah ruah. Suaranya menghambur ke udara, menyisakan kesakitan yang lebih dari sakit. Gumpalan pahit seakan bergerumul di setiap jengkal tubuhnya. Perempuan itu terus terisak dengan suara retak dan parau, memohon sembari bersimpuh. Bukan sebuah empati yang dia terima, melainkan berbagai cacian, makian dan hinaan. Rasa sakitnya tidak dihiraukan. Perempuan itu masih bersimpuh, menjatuhkan harga dirinya demi sebuah permohonan yang bahkan suaranya tidak di dengar.

Perempuan itu tidak peduli, ia menulikan telinganya. Terisak seperti orang gila, menjerit dengan suara yang nyaris hilang walau tubuhnya sudah terkulai lemas dan tidak berdaya. Wanita paruh baya yang tidak jauh dari hadapannya tersenyun miring, menatap remeh sembari bergidik jijik. Ia tendang tubuh Perempuan itu hingga tersungkur, menghardiknya dengan kasar.

Sementara, seorang lelaki dari kejauhan beberapa meter memandanginya dengan tatapan nanar. Ia ingin menolong, namun kedua pria yang berada disampingnya terus menahan. Menepis kasar perlawanan yang ia kerahkan, yang pada akhirnya, ia hanya bisa terduduk lemas seperti seorang pecundang.

Tangis lelaki itu semakin menjadi, menciptakan hujan teramat deras dari pelupuk mata. Benar memang, rasanya lebih dari sekedar sakit, bentangan jarak yang tercipta seolah ingin memutus benang merah yang sudah rekat dan terikat. Cintanya dipisahkan, rindunya tidak diizinkan untuk berpuan, puisinya masih rumpang, dan rumah untuk ia berpulang sudah diruntuhkan.

Kaki Dista berpijak di jalan setapak yang menghubungkan ke tempat itu, namu anehnya, sedari tadi yang Dista dengar hanya suara lolongan amat memilukan. Netranya tidak dibiarkan untuk melihat jelas apa yang terjadi, seakan mereka tenggelam dalam kelamnya malam. Bibir Dista terkatup, tak bisa ia mengeluarkan sepatah kata. Kakinya kaku, seolah ia diperingatkan untuk tidak pergi kemana-mana.

Hingga secara tiba-tiba, berbagai kejadian asing terputar dengan acak, layaknya layar bioskop yang menampilkan berbagai adegan. Bedanya itu terjadi di dalam kepala Dista. Namun yang Dista tangkap hanya hitam, buram dan usang. Perlahan suhu tubuhnya jatuh saat ada seseorang meremat pundaknya, lalu berbisik pelan,

"... pergi. Berbahagialah dan hidup dengan layak."

-----

Dista terlonjak dari tempat tidur, jantungnya berpacu teramat cepat. Peluh sebesar biji jagung berjatuhan dari ujung pelipisnya. Dadanya kembang kempis dengan nafas tersengal, Dista menarik kakinya, memeluk lutut dengan raut cemas, lalu menenggelamkan kepala diantara kedua lututnya

Sudah empat hari ia mengalami mimpi yang sama dan sudah empat hari juga Dista masih berdiam dirumah sejak kejadian ia tumbang di sekolah, Dista masih belum sanggup untuk pergi sekolah atau melakukan aktivitas, ia masih butuh ruang untuk dirinya sendiri. Disisi lain, ada Olimpiade yang harus dilaksanakan dan ia jalani beberapa hari lagi.

Dista bimbang, karna untuk sekarang, Dista ingin memprioritaskan dirinya dibanding urusan lain. Dista ingin egois, namun ia tidak mampu.

Tubuhnya melipir ke sisi kanan, menyenderkan kepalanya disana. Menutup matanya rapat-rapat untuk mencari ketenangan barang sebentar, dalam gelap ia bertanya pada malam tentang dirinya sendiri. Ia tidak memiliki latar belakang yang jelas dan perihal kedua orangtuanya siapa pun belum tuntas. Dista bertanya, mengapa ia lahir dalam kerumpangan?

Dista menghela nafas berat, membuka matanya perlahan, netranya bergeser, mengamati jam dinding yang tengah berdetak yang menandakan bahwa ada kehidupan masih terus berjalan.

Selan beberapa detik, perutnya berkedut nyeri, diiringi sensasi seperti tertarik oleh sesuatu, dan itu tidak terjadi hari ini saja, belakangan ini Dista merasakannya. Sontak pandangannya jatuh ke bawah, menatap perutnya sendiri, entah sinyal apa yang ia terima, tiba-tiba saja air matanya berdesakan untuk keluar.

AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang