Happy Reading!
Leon melihat pergelangan tangannya yang sudah banyak mengeluarkan darah, lelaki itu menyayat nya lumayan dalam, sehingga darah yang mengucur tidak sedikit namun hal itu tidak membuat Leon berhenti, lelaki itu terus menyayat tanpa suara. Menahan ringisannya dalam diam. Menangis dalam diam. Menjerit dalam diam. Semua yang rasa tak mengenakan itu berbaur dan mengendap di dalam, menjadi memori yang paling menyakitkan tentang perpisahan dan kehilangan akan takdir yang Tuhan berikan. Seakan Tuhan membuatnya menjadi orang yang layak untuk ditinggal.
Lelaki itu tersenyum lega, merasa sakit Dista kini sudah berpindah pada dirinya. Tentu saja lelaki itu sadar atas perbuatan yang ia lakukan beberapa jam yang lalu, Leon mempersetubuhi gadis itu, bermaksud menandakan bahwa Dista adalah miliknya. Ia yakin, kedua sahabatnya akan mengatakan kalau Leon sakit jiwa.
Dia hanya tersenyum asimetris, mengabaikan pikirannya yang mulai meracau akibat rasa pusing yang menjalar hebat di kepalanya. Leon memejamkan matanya, mungkin efek dari darah yang mengalir dari pergelangan tangannya, membuat Leon hampir kehilangan kesadaran. Lelaki itu mencoba untuk bangkit dari tempat duduknya, darahnya menetes hingga ke lantai.
Lagi, Leon merasa dadanya di penuhi rasa sesak, namun sakitnya dua kali lipat. Nafasnya mulai tak beraturan, Leon melirik lengannya yang sudah di basuh oleh darahnya sendiri, sedikit saja lagi Leon menyayat, pasti ia sudah tewas seketika, beruntung tidak mengenai nadinya. Namun tetap saja, rasanya nyeri tak tertahan.
"Jangan lakuin hal bodoh ini lagi Yon.."
Sontak lelaki itu membuka matanya lebar-lebar, mencari sosok yang ia rindukan setengah mati. Suara yang tidak asing di pendengaran lelaki itu terdengar lagi, namun kini berbeda, suara gadisnya terdengar menahan rintih.
"Kamu nyakitin diri kamu dan juga aku."
Netranya bergeser kesana kemari, berharap menemukan sosok Azalea.
"Le, kamu dimana... aku kangen kamu."
"Aku gak pernah pergi, kamu terlalu sibuk nyari aku. Padahal aku ngga kemana-kemana," suaranya terdengar berbisik namun parau. Hal itu membuat Leon meracau, netranya terus menyapu segala sudut ruangan dengan tangisan yang begitu hebat. Raungannya terdengar amat pilu, seakan ia baru saja merasakan kehilangan.
Lama mencari sosok Azalea. Akhirnya Leon menangkap raga Azalea yang tengah tersenyum ke arahnya, melambaikan tangan, perlahan gadis itu berjalan mendekat dan mengusap bahu Leon yang bergetar hebat.
"Aku disini."
Leon mengerjap, "Azalea? Ini kamu?"
Lea menangguk.
"Kamu kemana aja.."
Tangan ringkih gadis itu menunjuk pergelangan tangan Leon, lalu netra beningnya menatap Leon dengan senyum masam, mengabaikan pertanyaan Leon. "kenapa kamu kayak gini sih?"
"Kamu makin kurus. Ngga ganteng," kekehnya.
"Aku cuma--"
Leon menahan nafasnya sejenak, pelukan yang selalu Leon rindukan tiap harinya kini sudah terealisasikan, demi apapun, Leon tidak percaya jika rindunya kini terbalaskan. Tidak butuh waktu lama, Leon merengkuh tubuh gadisnya, walau raga Lea tidak sehangat seperti dulu ia masih merasakan kehangatan. Rasanya masih sama. Tidak berubah, atau tidak akan pernah berubah.
Leon menaruh kepapanya di bahu gadis itu, sesekali ia menciumi pipi Lea yang kini sedingin es, rasanya.. banyak ribuan kupu-kupu yang menggerayangi perut Leon, menggelitik namun menyenangkan.
"Jangan pergi lagi, tolong, jangan pergi," ucapnya lalu.
Azalea mengusap surai lelaki itu pelan, hingga senyum itu terbit.
"Aku ngga pergi. Aku hanya lagi melakukan perjalanan yang lebih jauh lagi, percaya sama aku, aku ngga kemana-kemana Yon," gadis itu berbisik, namun terdengar syahdu.
Leon menggeleng, "aku mau ikut sama kamu Le."
"Nggak bisa."
"Kenapa?"
Leaa menggeleng, masih dengan senyumnya.
"Aku lagi nunggu kamu disana."
"Disana itu dimana Le? Aku mau kesana, aku mau sama kamu, aku mau ketemu Bunda. Kita bisa hidup bersama, dimana pun kamu mau. Kita bisa hidup bahagia, Lea." lirih lelaki itu yang masih mendekap raga Azalea erat, seolah tidak mengizinkan gadisnya untuk pergi, lagi.
"Biar Tuhan yang mempertemukan kita.. mungkin."
Perlahan gadis itu melepaskan tangan Leon, menatap lelaki itu dengan senyum tipis, "kamu udah hancurin dunia dia.. dunia.. dia.."
Perlahan Azalea mundur, netranya menatap Leon cukup lama, hingga gadis itu melambaikan tangan.
"LEA! LEA!!!"
Obsidian Leon menatap Azalea nyalang, lelaki itu meraung kembali memanggil nama gadisnya, perlahan bayangan Azalea menghilang, di telan oleh masa, walau gadis itu tidak binasa namun Leon tetap di rundung luka.
***
Matahari nampak bersinar, mengisi tempat di luasnya bumantara. Pagi ini cuacanya sangat sejuk, apalagi sekarang adalah akhir pekan, membuat orang-orang menghabiskan waktunya untuk bersantai ria, berbeda dengan lelaki bernana Kenan. Ia harus membantu Athaya ke pasar, menjual kue-kue yang belum tandas di jual.
"Taro selai strawberry disini ya, jangan kebanyakan," perintah perempuan itu.
Ken hanya mengangguk dan segera menuruti perkataan Athaya, saat tangannya mulai mengambil selai dengan spatula, warna merah selai itu mengingatkan dengan gadis yang ia temui semalam. Ken berpikir, apakah gadis itu baik-baik saja-
"KEN!"
Lelaki itu mengerjap, memandang Athaya bingung, "apa?"
"Yang lo oles itu tangan gue, bukan kuenya!"
Refleks Ken mengalihkan pandangannya ke tangan Athaya, dan benar saja, tangan Kakaknya terlumuri oleh selai strawberry.
Dengan acuh, lelaki itu melempar serbet ke arah Athaya, "bersihin sendiri."
"Sabar ya Ta, orang sabar di sayang Mas Jaehyun kok."
***
Leon membuka matanya yang masih terasa berat itu perlahan, dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah Mbak Ira, asisten rumah tangganya yang tengah membersihkan kamarnya.
"Alhamdullilah, udah bangun," wanita itu menghela nafas lega, "semalem Bapak khawatir banget sama Mas, apalagi liat tangan Mas Leon yang banyak darah gitu," lanjutnya.
Leon menggeleng, "semalem ada Lea, Mbak."
"Makan dulu ya Mas, butuh apa-apa panggil Mbak Ira aja oke? Oke dong," setelah wanita itu melenggang pergi dari hadapan Leon, tepatnya, Ira menghindari topik yang Leon bicarakan karna menurut Ira, pembahasan mengenai Azalea, hanya akan membuat luka dihati Leon semakin menganga yang mungkin tidak akan kunjung reda.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident
Novela JuvenilRumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak pernah padu. Kita sama-sama tidak bisa menyangkal takdir. Sejauh apapun kita pergi, kita hanya fana yan...