Hi, how's eveything going? Semoga, semua urusan kalian berjalan dengan baik. Aamiin.
Selamat datang di chapter 11, dimana konflik akan mulai dikembangkan, dan aku mencoba menjelaskannya dari berbagai sudut pandang.
Happy reading!
★☆★☆
[Radista's POV]
Diam-diam perasaanku berdebar hebat ketika mendengar sebuah pernyataan tentang perasaan Kak Jendra terhadapku. Yang sebenarnya- aku sudah menduga hal itu, karna gelagat yang ia tunjukan kepadaku belakangan ini. Bagaimana ia menatap, berbicara dan segala bentuk perhatian yang aku kira adalah sebuah kewajaran. Aku tidak berniat menyangkal jika sekarang Kak Jendra hanya mengada-ngada atas perasaan yang ia miliki terhadapku. Karna dengan begitu, aku bisa merasa pantas untuk seseorang. Ya, mungkin bukan sekarang, tapi rasa pantas itu perlu untuk menempa rasa percaya diriku yang mulai meredup.
Sekarang kulihat ia yang masih tidak mengangkat suara, namun netranya terus menatapku cukup lama. Seolah-olah ia tersesat di dalam dunia ku sekarang.
Oke, ini terbilang berlebihan tapi aku merasa demikian.
Aku menghela nafas, abai terhadap perkataan yang ia ucapkan beberapa menit yang lalu. "Pulang Kak. Keburu malem."
Seperti tersadar, Kak Jendra mengerjap lalu menjatuhkan pandangannya ke arah lantai rumah. Samar-samar aku mendengar ia meringis melihat luka gores di sepanjang betis hingga mendekati lutut yang aku dapatkan beberapa hari lalu. Ya, insiden itu.
"Maaf gue terlalu lancang bilang kayak tadi- walau semua itu benar. Gue nggak bisa mengelak atas perasaan yang gue alami sekarang," ia menarik nafas, kemudian mengambil tanganku untuk ia letakkan di dadanya, sedikit ke atas sebelah kiri.
"Ini yang gue rasakan Dis. Asli."
Aku terkesiap kala merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari detak jantung manusia pada biasanya. Getaran yang begitu cepat dan hebat, dan itu berhasil membuatku merasakan getaran yang sama seperti Kak Jendra.
Aku tidak merespon apapun, perlahan aku menurunkan tangan dari dadanya. Mencoba menampilkan raut wajah seperti biasa. Aku sedang berusaha untuk tidak membuat Kak Jendra kecewa dengan menolaknya sekarang, meski aku tidak tahu apa ia membutuhkan pernyataan tentang penolakan ku terhadapnya. Aku tahu, aku sudah di kecewakan olehnya. Namun.. entahlah, aku tidak mengerti naluri seperti ini. Akal warasku seperti tidak bekerja pada semestinya. Aku masih bersikap seperti biasa kepada Kak Jendra, saat ia datang semua umpatan yang ingin aku keluarkan seperti kelu. Seolah tertelan. Lidahku seperti tertahan di langit-langit mulut. Tak mampu mengumpat, tapi aku mendekapnya dengan hangat dan cukup erat.
Ah, aneh.
Tapi aku masih menerimanya, karna perasaan manusia tidak sedangkal yang kita kira. Menerima kehadiran dia bukan berati menaruh rasa. Dekat bukan berati tidak berjarak. Selalu hadir belum tentu menjadi takdir. Saling perhatian tidak menjamin sampai ke pelaminan. Dan bersama bukan berati akan bahagia.
Ya, perasaan tidak sesederhana itu.
Kembali pada Kak Jendra. Lelaki dengan postur tinggi itu berdiri, memandangiku seperkian detik, "yaudah. Gue pulang ya. Jaga diri baik-baik," ujarnya dengan senyum teramat manis. Oh tidak, aku- emm hanya kagum kok. Ralat. Sedikit kagum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident
Teen FictionRumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak pernah padu. Kita sama-sama tidak bisa menyangkal takdir. Sejauh apapun kita pergi, kita hanya fana yan...