Happy Reading!
Sekarang, Ken berada di rumah Dista - karna permintaan dari Caca - entah sinyal apa yang Caca kirimkan untuknya, Ken merasa bahwa menolak keinginan gadis itu adalah ketidakmungkinan. Ken seolah harus selalu tunduk walau Caca tidak memaksa sekalipun, lima tahun berdampingan dengan keluarga Caca membuat Ken selalu sadar diri, jika tidak ada pertolongan dari keluarga gadis itu. Yalla, adik bungsunya. Mungkin tidak akan hidup hingga sekarang.
Ken tidak ingin menambah beban orangtuanya. Walau orangtuanya sudah berada di usia senja namun masih bekerja membuat Ken dan juga Athaya remuk dari dalam, tertampar bahwa hingga kini, orangtuanya belum dibahagiakan. Orangtua yang seharusnya di rumah, masih harus mencari nafkah, yang harus rehat dari kerasnya dunia, namun dipaksa berdiri kokoh untuk menghadapi realitanya. Sudah beribu kali Ken melarang Mama dan Bapak untuk bekerja, mereka tetap pada pendiriannya.
Ken ingin egois. Ken terlampau percaya diri jika menyelesaikan ini sendirian, rasa hampa dan kesepian ia kesampingkan. Beruntung keluarga Caca hadir ditengah porak-poranda dalam keluarganya. Ia seperti menemukan oasis di padang pasir. Ambang hidup dan mati itu perlahan lesap digantikan dengan keadaan keluarganya yang kian membaik tiap harinya. Ken teramat sangat bersyukur.
Ken menurunkan bola matanya, melihat Caca yang tengah telelap di kakinya. Iya, gadis itu lebih menyukai kaki sebagai sandaran kala ingin terlelap atau sekedar bersantai dibanding bahu, dada, ataupun paha.
"Mika, ayo pulang. Nanti nyokap lo nyariin," Ken tidak bisa mengguncang tubuh gadis itu. Kepala Caca saja bertumpu dikakinya, lumayan berat pula.
Tidak ada sahutan. Hanya gumaman tidak jelas, yang memperjelas bahwa gadis itu sudah berada di alam bawah sadar. Hawa rumah Dista terasa suram ketika suara guntur saling bersahutan diluar sana, sepertinya akan turun hujan tapi Ken berharap tidak, ya setidaknya jangan sekarang. Perlahan Ken menarik kakinya, hingga kepala gadis itu bercumbu dengan dinginnya lantai.
Ken meregangkan ototnya sebentar, lalu berdiri mencari sang pemilik rumah. Ken mengamati tiap sudut rumah Dista, ukurannya memang minimalis namun luas jika hanya dihuni sendirian, berbeda cerita jika keluarga Ken yang nenghuni. Kini, netranya kesana kemari, kakinya menjejaki ruang ke ruang untuk mencari Dista. Hingga obsidiannya menangkap gadis itu tengah memeluk lututnya, membenamkan kepalanya dalam-dalam, rambutnya sudah kacau seperti sarang burung yang ditinggal induknya. Pantas saja Ken tidak melihat Dista sedari tadi, gadis itu tengah dilanda badai rupanya.
Tak selang berapa lama, suara guntur semakin menggelegar dahsyat bersamaan dengan air yang turun ke bumi sangat deras, menimbulkan suara ribut, beradu dengan atap-atap bangunan diluar sana. Angin malam yang juga semakin dingin membuat Ken mengusap lengannya beberapa kali, ia tidak terbiasa dengan cuaca seperti ini.
Sebenarnya Ken ragu untuk mendekat, namun suara isak gadis itu membuat perasaanya bergejolak. Tumbuh diantara dua saudara perempuan membuat Ken cukup merasakan setiap sentimental yang perempuan rasakan. Sejauh ini, Ken menilai bahwa perempuan bukanlah makhluk yang rumit, yang rumit adalah pola pikirnya, perasaanya dan tingkah lakunya yang kadang membuat Ken bertanya-tanya.
Ken duduk disamping Dista, gadis itu belum menyadari kehadirannya. Ken masih bergeming, bingung ingin mengatakan apa. Dista masih terlalu asing untuknya. Ken baru mengenali gadis itu beberapa hari yang lalu, tidak mungkin juga ia langsung mencecar berbagai pertanyaan atau mendesak Dista untuk bercerita perihal apa yang membuatnya kacau seperti ini.
Ken mengikis jarak, hingga hanya menyisakan beberapa jengkal diantara dirinya dan Dista. Gadis itu mengerjap, terkejut dengan kehadiran sosok Ken yang duduk santai disampingnya.
Cepat-cepat Dista menyeka air matanya kasar dengan punggung tangan.
"Ada apa? Mau Dista ambilin minum?" Suara parau sehabis menangis itu sangat kentara. Hidung hingga telinga Dista memerah seperti terbakar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident
Teen FictionRumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak pernah padu. Kita sama-sama tidak bisa menyangkal takdir. Sejauh apapun kita pergi, kita hanya fana yan...