17. Luka Merangkum Asa

190 32 0
                                    

Happy Reading!


Raut wajah gelisah itu terbingkai di wajah Radista. Gadis itu tidak hentinya untuk mengeja kalimat; semua akan baik-baik saja.

Sesekali gadis itu mengusap dahinya frustasi, memang kemungkinan itu sudah ia duga tapi tidak se-cepat ini. Terlebih saat Ken tahu, lelaki itu tidak berkomentar apapun. Hal itulah yang membuat rasa takut gadis itu semakin hebat, ia takut Ken tidak berpihak padanya lagi, ia takut disudutkan dan lebih takutnya lagi ia akan ditinggalkan.

Ken memang terbilang nasih asing, namun keberadaan lelaki itu seperti peluang terakhir Disra untuk berharap.

Setelah sibuk dengan pemikirannya sendiri, badannya berbalik saat mendengar derap langkah kaki seseorang, ia sudah menduga jika langkah itu akan menuju ke arahnya -benar saja- matanya langsung membulat saat menemukan oknum yang ia pikirkan sejak tadi. Wajah semuram rembulan tanpa cahaya itu samar-samar nampak bersinar sekarang.

Langkah Ken menyisir ruang kesenian, menghampiri objek bernama Radista yang masih terlihat kacau -bahkan lebih- senyum segaris ia tampakkan sebelum langkahnya benar-benar terhenti beberapa jengkal di hadapan Dista. Jarak yang dipangkas Ken, menyebabkan gadis itu merasakan hembusan nafas Ken yang menerpa ringan kulit porselennya.

Suara lelaki itu menyapanya,

"lo masih belum mau masuk kelas?"

Seolah baru saja ditarik keluar dari alam bawah sadarnya, gadis itu mengerjap untuk beberapa saat, "iya Kak?"

"Lo masih belum mau masuk kelas?" Ken mengulang.

Tanpa ragu, gadis itu mengangguk.

"Masih nunggu dia datang?"

"Nggak lihat Dista lagi ngapain?"

"Lihat. Lagi nafas."

"Terserah," ujarnya sambil merotasikan bola mata.

Ken menghela nafas, seperti biasa, lelaki itu pergi tanpa aba-aba, meninggalkan Dista yang masih termangu di tempat. Perlahan gadis itu sadar, "KAK!?"

Alih-alih berbalik, lelaki itu malah mempercepat langkahnya keluar dari ruang kesenian. Dista masih tidak mengerti dengan tindak-tanduk Kakak kelasnya itu, semua masih terasa abu walau dirinya terlanjur megharap.

Sementara Ken, lelaki itu terlihat gusar semenjak keluar dari ruang kesenian. Ken berhenti untuk sesaat, mata gelapnya menyapu koridor yang tak jauh dari ruang seni itu, untuk mencari oknum yang menyebabkan kekacauan ini terjadi.

Tak selang berapa lama, presensi Leon mengalihkan fokusnya. Lelaki itu muncul tanpa mengenakan seragam sekolah dan surai hitam legamnya ia biarkan berantakan menutupi dahi hingga mata.

"Gue bingung, kenapa cewek sebaik dia, mau berharap biar gue datang," ia tersenyum geli.

Ken mendengus, "banyak tingkah lo."

"Wajar. Gue manusia, manusia kalau nggak hobi gosip ya hobi cari masalah."

"Pantes, hobi lo aja buat kerjaan orang bego."

Leon terkekeh, "lo emang temen gue."

Detik berikutnya, lelaki itu pergi dari hadapan Ken, menyisakan kekehan dan rasa aneh yang tidak bisa terdefinisi.

Ia hanya merasa, cepat atau lambat sesuatu yang buruk akan terjadi.




***




Peluh sebesar biji jagung itu tidak hentinya berjatuhan dari pelipis Jendra, rasa yang tidak mengenakan itu berbaur lalu menghantam keras dadanya berulang kali. Memang, ia bukan Radista, namun rasa sakit gadis itu seolah menggerogoti separuh jiwanya dengan begitu hebat.

AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang