Pemuda itu, kembali menundukkan kepala. Netranya hanya menatap lantai lamat-lamat, membiarkan hening agar lebih lama untuk menemaninya. Pria yang berada di hadapannya pun melakukan hal yang sama, walau tak sepenuhnya sebab pria itu sudah mulai berkata sebelumnya, sampai akhirnya ia memilih bungkam sebab tak ada sahutan.
Keduanya berada disini bukanlah sebuah kebetulan. Baik Leon maupun Ardi pun tahu, bahwa semuanya belum benar-benar berakhir. Masih terlalu abu untuk dibilang selesai tanpa bertemu ikhlas.
Asing. Itulah yang Leon rasakan saat ia mendudukan tubuhnya disini sejak lalu, bersama sang Ayah.
Ardi menghela napas, mata gelapnya memandangi putranya penuh sesal. "Maaf. Ayah yang salah."
Pria itu kembali menundukkan kepala, menahan perih yang mulai menjalar sampai ke tenggorokannya. Napasnya mulai tercekat dan memberat, Ardi tak bisa menahan sesak ini lebih lama. Ia tidak mau menumpahkannya disini, ia terlalu malu untuk terlihat menyedihkan di depan putranya.
"Leon, Ayah nggak akan menyalahkan kamu atau membenarkan kamu.. berat sekali nak rasanya saat mengetahui perbuatan tercela kamu. Sakit. Tapi Ayah juga salah, Ayah banyak salah. Ayah sudah gagal menjadi sosok panutan untuk anak-anak Ayah."
"Selain itu, Ayah juga gagal menjadi suami yang baik untuk Bunda kamu. Begitu banyak salah yang mungkin nggak akan kamu maafkan. Ayah tau, Ayah memang nggak pantas," pria itu masih bermonolog dengan pandangan yang jatuh.
Tanpa sepengetahuan Ardi, Leon tetap menajamkan pendengarannya, menangkat tiap frasa yang Ardi katakan. Leon menangkap semuanya baik-baik, termasuk rasa sesak yang Ardi simpan rapat-rapat dan terkubur begitu dalam.
"Leon, Ayah menyesal. Kenapa dulu kita nggak saling bercerita, saling terbuka," ujar Ardi dengan suara yang begitu retak. Begitu sakit.
"Ayahmu ini bodoh. Menyiakan wanita tulus seperti Anye demi mengejar cinta yang Ayah tahu nggak akan mendapat restu. Hati Ayah sudah dibutakan oleh cinta, bahkan Ayah rela menduakan Allah. Ayahmu bodoh," lanjutnya. Kali ini Ardi mendonggak, memandang putranya-sekali lagi sebelum beranjak dari kursi.
Sebelum pria itu benar-benar pergi. Ardi tetap melemparkan senyum meski ia tahu Leon tidak akan melihatnya.
Kini, tinggal Leon seorang diri. Ia memejamkan matanya, mencoba menghirup oksigen yang berada di sekitarnya. Bukan tenang yang Leon dapat, melainkan sakit yang sama persis saat ia mendengarkan sang Ayah bermonolog; seolah segala pilu yang Ardi rasakan berbaur di ruangan ini.
Badan pemuda itu melemas, Leon menjatuhkan dirinya ke lantai. Ia menekuk lutut, mengaku kalah pada semesta-dan juga memohon ampun pada-Nya. Leon kembali tak berdaya, menangis tanpa suara. Dan terus mengulangi kata yang sama berulang kali.
"Maaf."
***
Di sisi balkon rumahnya, Yumna menatap langit Jakarta yang berawan dengan senyum tipis. Desiran angin menerbangkan beberapa helai rambutnya dengan lembut, dah seolah tak terusik, gadis itu membiarkan helaian rambutnya bergelung kesana kemari tanpa ia benarkan barang sedikit.
Kini netranya beralih, menatap Jendra dengan senyum berati. "Lama ya, kita nggak ngobrol santai kayak gini."
Mendengar itu, Jendra hanya bergumam. Ia Masih terlalu kaku untuk menimpali perkataan Yumna.
"Mbak Radis apa kabar ya bang? Sekedar bayangin jadi dia aja gue.. nggak sanggup bang.."
Suara lirih yang masih terdengar di rungu Jendra kembali membuat lelaki itu menahan napas. Topik pembuka dari Yumna membuat tenggorokannya merasa kering, dan seolah pasokan oksigen disekitarnya mulai menipis, sesak menjalar ditiap jengkal tubuhnya. Sakit rasanya kalau harus mengingat derita gadis yang ia cintai, dan lebih sakitnya lagi, dirinya tak disana untuk menemani Radista.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident
Teen FictionRumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak pernah padu. Kita sama-sama tidak bisa menyangkal takdir. Sejauh apapun kita pergi, kita hanya fana yan...