23. Bukan Pemilik Akhir Bahagia

124 20 0
                                    

Happy Reading!

Dista memeluk lutut, ia benamkan kepalanya dalam-dalam untuk memeluk raganya yang sepi. Bayangan buruk menghampirinya tanpa jeda, tentang bagaimana nasib dirinya yang sudah tak memiliki harap apa-apa, tentang bagaimana ia bangkit sendiri ketika harus menelan pahit sendirian dan tentang bagaimana ia harus kuat menahan luka yang begitu hebat.

Gadis itu kembali menangis, dunianya sudah goyah tanpa arah. Harus pada siapa ia mengadukan tentang dirinya yang tak lagi utuh? Tuhan, mengapa kau hadirkan mimpi buruk bahkan saat aku tak memejamkan mata? Batinnya.

Tak ada senyum hari ini, hanya ada tangis yang kian memilukan dari sebelumnya yang entah sudah berapa juta tetes air mata yang ia jatuhkan sebab dirinya begitu menyedihkan.

Suara ketukan pintu membuyarkan isi kepalanya, Dista berdecak dalam hati. Siapa yang berani menganggunya malam-malam begini?

Dengan tangis yang enggan ia seka, gadis itu membukakan pintu rumahnya. Dista membatu.

Ada Caca disana, memeluk tubuh ringkihnya tanpa aba-aba. "Thanks Dis, lo milih buat bertahan. Sori juga baru bisa kesini."

Dista tak membalas, jemarinya semakin mengeratkan peluk hangat yang Caca berikan untuknya. Bahkan air mata yang ia biarkan jatuh itu tak bisa menjelaskan perasaanya saat ini, ia merasa patah dan semangat di waktu yang sama.

"Lepas dulu Dis... ! Dingin tau disini, ayo masuk rumah lo."

Dengan suara parau, gadis itu menjawab "sebentar lagi."

"Gue hitung sampe 10 aja. Dilarang nolak. Titik."

Dista melerai peluk itu, ia merenggut sedang Caca tergelak. Tak bisa menahan tawa. "Jelek lo, habis nangis malah ngambek."

"Siapa juga yang ngambek?"

"Elo lah masa gue."

Mengabaikan perkataan gadis itu, Dista mengamit lengan Caca untuk masuk ke dalam rumah. Dalam tawa yang mengudara tiap harinya, ada sakit yang bisa Caca rasakan disini. Tiap lantai yang ia jejaki seolah bisa membawanya ke dimensi lain sebab begitu dingin. Bukan Dista saja yang butuh hangat, ruangnya pun sama.

Netranya menyapu tiap sudut rumah, tiap kali datang kesini Caca selalu merasa hampa, kosong seolah tak ada yang menghuni. Entah sudah berapa duka yang ruang ini rasakan hingga suasanya menguar bebas.

Saat sudah berada di kamar, Caca kembali mengangkat suara "Gue tebak lo belum makan. Yes or yes?"

"Nggak ah, mau tidur aja."

"Gue bertamu ditinggal molor mulu ya Allah," sahutnya dramatis.

"Bertamu tuh liat jam Ca, ini udah jam satu malem," meski sumpalan pahit memenuhi tiap jengkal tubuhnya, sebisa mungkin ia tetap bersikap biasa saja meski gamang menyiksa sukma.

"Dis, nggak capek?"

"Capek apa? Dista nggak ngapain-ngapain hari---"

Dengan cepat Caca menyela "plis, lo tuh.. Lo nggak bego kan kenapa gue nekat kesini malem-malem? Gue capek ya liat lo pura-pura terus. Gue disini Radista! Gue temen lo, sahabat lo."

Lagi. Dista hanya bisa membantu, air mata yang sudah ia seka itu tumpah kembali, terisak di depan Caca. "capek Ca, capek banget."

"Dista nggak tau dosa apa yang Dista udah lakuin sampe dihukum sesakit ini. Menyedihkan banget."

"Nggak pa-pa, lo bebas mengeluhkan apapun malem ini sama gue. Kita kan teman, okay?"

Dista mengangguk, ia menarik senyumnya walau hanya segaris. Setidaknya dalam pelik cobaan yang ia rasakan, ia tak sendirian.






AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang