26. Ikhlas; Obat Dari Segala Sakit

238 21 1
                                    

⚠️ contain harsh word, sexual harassement and suicide.

Sebelumnya aku minta maaf karna nggak memberi peringatan ini di chapter sebelumnya :(
I feel bad 4 this. Aku harap kalian menjadi pembaca yang bijak!
Selamat membaca

---

"Mau kemana lagi lo?" Suara serak khas bangun tidur itu menghentikan langkahnya. Gadis itu terusik dari tidurnya akibat suara sepatu yang beradu dengan lantai, dan ketika matanya terbuka separuh. Ada punggung yang mulai menjauh dari ranjang miliknya. Tak ingin pemilik punggung itu pergi, Jiselle pun menguap singkat di sisi ranjang sebelum berjalan gontai menghampiri pemuda yang berada di ambang pintu.

"Nyari nafkah buat lo," sahutnya dengan nada jenaka.

Kalimat yang lolos dari bibirnya berhasil membuat Jiselle mengerjap tak suka, ia tersenyum kecut, "gue serius!"

"Gue lebih serius."

Jiselle menyilangkan tangannya di depan dada, mencoba bersikap angkuh dengan wajah sehabis bangun tidur, yang tentu saja sangat tidak cocok. "Hari ini lo udah keluar rumah lebih dari sepuluh kali ya! Istirahat plis, nanti badan lo drop lagi."

"Cie, perhatian banget lo sama gue." Pemuda itu menggodanya, terkekeh seolah ada hal lucu yang harus ditertawakan, yang sebenarnya tak ada.

"Gue nanya sama lo. Lo mau pergi kemana!?" Terselip amarah dari suara itu, Jiselle tak benar-benar marah, ia hanya terlalu lelah. Lelah dengan keadaan yang menuntutnya untuk bekerja sama dengan segala pahit.

Pemuda itu enggan menjawab. Dia hanya memberikan sebaris senyum tipis. Ada jeda diantara keduanya hingga Jiselle mengakhirinya lebih dulu, bersuara dengan retaknya.

"Gue.. boleh bilang sesuatu sama lo?"

Ragu itu sangat kentara namun dengan cepat pemuda itu menyaut. Membiarkan Jiselle bersuara sesukanya.

"Ram, gue rasa, ini waktu yang tepat buat mengakhiri semuanya. Akhiri aja, sampai sini aja ya?.. gue mikir kalau yang kita lakukan ini terlalu sia-sia. Sekeras apapun kita mencoba untuk menghukumnya dengan cara kita, rasa puas dan selalu menginginkan yang lebih nggak akan berhenti. Kita bukan Tuhan. Kita masih sama-sama manusia yang nggak bisa apa-apa, kita nggak berdaya Ram... lo paham maksud gue kan?"

Pemuda yang dipanggil Ram itu menegaskan rahangnya, nampak terlihat jelas jika ia tidak suka dengan perkataan Jiselle, "lo mau berhenti saat kita udah sejauh ini? Kalau dari dulu lo emang nggak mau, nggak usah sok mengulurkan tangan Sel. Tanpa lo pun gue bisa nyelesain ini semua, lo aja yang merasa sia-sia, gue nggak. Gue nggak akan pernah berhenti. Kalau lo mau, silahkan. Gue nggak larang."

Seakan diguyur hujan yang begitu deras, Jiselle tak bisa membuka matanya dengan sempurna karna terlalu buram. Jiselle memandang pemuda itu tak percaya, dia tak pernah berpikir jika Ramdan bisa berkata semenyakitkan ini. Sesuatu di dalam dadanya berdebar nyeri, dan Jiselle hanya bisa memandangi Ramdan dengan sorot mata sayu.

"Kenapa.. ini bukan lo... dengan lo marah kayak gini, lo mengakui kalau yang gue bilang bener kan? Lo cuma menyangkal gue," katanya dengan nafas tak beraturan. Jiselle juga tak memedulikan tatapan nyalang dari Ramdan. Dengan gesit ia mencekal lengan pemuda itu agar tak kemana-kemana.

"Lo tau kan prinsip gue? Sesuatu yang udah nggak guna harus dibuang, dan sekarang lo udah nggak berguna Sel. Gue nggak ada hubungan lagi sama lo. Pergi Sel, lo harus pergi."

Jiselle menggeleng cepat, "nggak! Itu semua bohong! Kalau lo bilang pergi, artinya gue nggak boleh pergi. Gue nggak bakal pergi Ram, gue nggak akan marah lagi atas kematian siapapun. Gue bener-bener mau berhenti dan kita bisa beraktivitas kayak biasa tanpa mikirin amarah ini.. Ram, plis?"

AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang