25. Pada Suatu Hari Nanti

144 19 0
                                    

Happy Reading!

Ken tersenyum ----lebih tepatnya mencoba untuk tersenyum---- kala netranya beradu dengan Dista, lalu menggengam tangan yang sudah tersemat cincin di salah satu jemarinya. Ya, cincin itu sebagai resminya kepemilikan seseorang.

Hari ini sudah tiba. Hari dimana hubungan mereka rekat dengan cinta dan janji abadi; untuk sehidup semati.

Akad sudah terlaksana beberapa jam lalu. Tak mengundang banyak tamu, hanya beberapa orang selain keluarga dari masing-masing pihak, sebab pernikahan ini tidak bersifat terbuka. Lagi pula pernikahan ini tak perlu ada perayaan atau hiburan. Ini hanya duka yang coba dibalut dengan 'suka cita'

Gadis itu menjatuhkan pandangannya, memandangi tangan besar Ken yang menyapa permukaan kulitnya. Walau masih enggan untuk tersenyum dengan benar, Dista tetap mengulas senyum sederhana miliknya. Dista tak mau senyumnya dicuri lagi oleh bumi.

"Ngga nyangka ya lo udah ada gandengan. Adek gue emang keren!" Athaya menepuk pundak adiknya pelan, berujar riang seolah tak ada hal yang menyesakkan dari pernikahan ini. Athaya tau, baik Ken ataupun Radista tidak sepenuhnya mau menerima. Mereka hanya mencoba, belum benar-benar lega.

"Iya deh, buat hari ini gue adek lo."

"Lo kenapa sih? Punya dendam apa lo sama gue!?"

"Soalnya kalo sama lo, gue di jadiin babu mulu," kelakar pemuda itu.

"Nggak ikhlas jodohnya di patok ayam!"

"Yaudah. Dista, gue patok lo boleh ya?"

Sementara yang namanya disebut dalam acara adu sembur itu hanya menggeleng kecil.

"Mampus lo dikacangin!" Tawa Athaya mengudara, geli dengan ekspresi Ken yang memang pantas dilempari tawa. Jarang-jarang Athaya melihat lelaki itu mendengus kesal.

"Kennya jangan dikacangin lagi ya Dis? Nanti gue ketawa, kalo gue ketawa nanti banyak yang suka dan gue belum siap buat di sukaim orang lain selain Kim Soohyun."

"Nggak usah di dengerin Ta." sahutnya tanpa menghiraukan tatapan sinis Athaya. Sedang Dista yang berada disamping Ken hanya tergelak.

Athaya menatap Ken sangsi sesaat, sebelum melerai jemari yang sedang terpaut. Mengambil tangan Dista, mengusapnya perlahan.

Netranya menatap cincin yang tersemat untuk beberapa saat. "Cincin ini emang cuma benda. Benda mati atau bisa dibilang cincin ini cuma formalitas dari sakralnya pernikahan. Tapi ada yang perlu kamu tau Dis, kalo cincin ini adalah saksi saat kalian menempuh perjalanan bersama. Entah sebentar atau lama perjalanan kalian nantinya, saksi ini akan selalu ada karna benda mati ini diberi nyawa sama pemiliknya.

Jadi, sebagai pemilik, kalian harus memberi nyawa untuk saksi perjalanan kalian. Aku tau ini nggak mudah, pelan-pelan aja. Nggak apa-apa kok kalau belum mau mencintai Ken sepenuhnya karna cinta Ken sudah cukup untuk kalian berdua, aku rasa."

Dista memandang Athaya haru, tak menyangka jika keluarga Mahezra bisa sebegini lembutnya dalam menerima segala kurang dalam dirinya.

Sungguh, Dista merasa tak pantas untuk itu.

"Makasih.. makasih kak Atha."

Athaya mengangguk, meninggalkan jejak senyuman untuk Dista saat langkahnya mulai menjauh. Pergi dari hadapan keduanya.

Kenan menarik napas panjang sebelum membuangnya, netranya menyapu ruang sederhana ini. Sudah tak ada lagi tamu, tak ada yang berdatangan seperti yang sudah-sudah. Ruang ini semakin sepi, hanya menyisakan beberapa orang yang masih ada beberapa urusan atau memang hadirnya masih dibutuhkan.

AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang