20. Jangan Terlalu Mencinta, Cinta itu Penipu

158 19 0
                                    

Happy Reading!

Dibawah langit yang masih gelap, Ken duduk lesehan di atas tanah setengah basah, pemuda itu memilih pohon tabebuya sebagai teman teduhnya setelah setengah jam berada di ruang kepala sekolah. Sehabis keluar dari sana beberapa menit lalu, tanpa direncana pemuda itu memutuskan untuk tidak mengikuti pelajaran di jam terakhir. Entahlah, hari ini ia merasa berat untuk sekedar memegang buku, apalagi belajar.

"Minum dulu Kak," belakangan ini suara itu sangat familiar di telinganya karna itulah dengan sontak Ken menoleh dan mendapati Dista yang tengah berdiri menyodorkan sebotol air mineral.

Ken tersenyum tipis -tipis sekali- mungkin jika tidak diamati dengan benar, Dista tidak akan tahu bahwa lelaki itu sedang tersenyum. "Thanks."

Dista mengangguk setelahnya gadis itu ikut duduk, bersebelahan dengan Ken.

"Pasti.. ini merepotkan ya," akibat kelelahan. Ia menyandarkan punggunya pada batang pohon, diiringi senyum kecut.

Ken melakukan hal yang sama, menyandarkan punggungnya perlahan. Hal itu, membuat bahu mereka menyatu. Sehabis menelan air yang menyisakan setengah, Ken mengangkat suara "nggak, lo santai aja. Lagi juga, Pak Ardi nggak mendesak lo ataupun gue buat terus terang. Mama gue, Bunda lo ataupun guru yang lain juga mengerti. Mereka semua mengerti lo. Jangan khawatir."

"Tapi.."

"Tapi apa? Lo sendiri yang meminta jeda. Lo sendiri yang meminta mereka menunggu sampai lo siap. Lo sendiri juga yang meminta gue tutup mulut. Dimana tapinya?"

Tadi, di ruang kepala sekolah beberapa guru didampingi wali murid berkumpul. Membahas masalah vidio situs sekolah yang menyeret nama Dista dan Kenan didalamnya. Belum jelas keterangan yang Dista berikan, gadis itu hanya meminta waktu untuk memberikan keterangan kala ia sudah siap dengan 'semuanya', Ken ataupun guru yang lain tidak memberikan protes apapun. Ken pikir, semua orang disana mengerti bahwa gadis itu benar-benar butuh waktu untuk menata kembali apa yang sudah porak-poranda dalam dirinya.

Ya, sekarang Ken sedang berusaha mengerti.

Terdengar helaan nafas dari gadis itu setelah melipat lututnya "Tapi.. apa dia bakal dateng? Menyerah dan mengaku. Dista cuman mau itu."

Abai. Ken tidak menggubris perkataan Dista, ia biarkan gadis itu berbuat sesukanya saja walau dalam hati Ken gemas sendiri dengan keputusan yang Dista buat. Ken hanya merasa.. bukannya konyol menaruh harap pada orang yang jelas-jelas meruntuhkan hidupnya?

"Olimpiade lo gimana?" Ken pikir, mengalihkan pembicaraan untuk membahas Olimpiade bukan pilihan yang buruk juga. Tidak yakin sebenarnya, tapi dicoba saja.

Untuk beberapa menit tak ada sahutan dari Dista yang netranya masih menatap lurus, entah memandangi apa. Barulah setelah hamburan nafas terdengar, gadis itu mengangkat suara "sedih.. kayaknya nggak akan ada Olimpiade sebelum masalah ini selesai, bahkan Dista nggak tahu kapan ini terselesaikan. Lagi pula, sekolah mana yang mau menanggung malu punya murid yang lagi bermasalah. Bisa-bisa Dista cuma menjelekkan nama sekolah aja, iya kan?"

Tatapan pemuda itu melirih, Ken jadi merasa bersalah ia kira pembahasan Olimpiade akan merubah sedikit suasana perasaanya namun nyatanya Ken malah membuat suasana muram yang kian pekat.

"Sori, nggak maksud gue."

Terdengar kekehan sederhana dari sebrang sana, "nggak pa-pa kak."

Setelah menanggapi dengan senyum segaris, Ken melipat bibir hingga bermenit-menit lamanya. Menciptakan hening diantara keduanya. Tak ada percakapan setelahnya, mereka sama-sama menikmati keheningan. Hening yang mampu membuat mereka nyaman dan betah untuk tinggal lebih lama disana.

AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang