Happy Reading!
Siang ini, langit berubah warna. Matahari yang semulanya terik mulai memudar diatas sana, awan berwarna keabuan melahapnya hingga kandas. Saat itu juga guntur mulai terdengar, bersamaan dengan jatuhnya rintik-rintik hujan.
Langit semakin menggelap, awalnya hanya rintik, namun kini hujan turun dengan deras mengguyur Jakarta. Alih-alih berteduh, dibawah hujan Kacita tetap melangkah meski tanpa payung atau jas hujan untuk melindunginya dari guyuran air hujan, dia hanya menutupi kepalanya dengan telapak tangan, takut-takut hujan memburamkan pandangannya. Tidak peduli dengan pakaian yang sudah basah kuyup, wanita itu terus menyeret langkahnya dengan tempo cepat.
Cemas. Itulah yang Cita rasakan sedari awal, panggilan dari sekolah mengenai Radista -anak asuh di pantinya- Cita tahu bahwa gadis asuhnya itu tidak meninggali pantinya lagi, namun bagaimanapun juga, Dista tetaplah tanggung jawabanya.
Tinggal beberapa langkah lagi sampai ke sekolah, ia semakin mempercepat langkahnya dengan perasaan ketir yang kian menjadi-menjadi.
"Aduh Ibu, basah begini bajunya, nggak mau dibenahi dulu?" Langkahnya terhenti saat mendengar suara satpam sekolah yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Berikutnya, pandangannya jatuh kebawah, melihat baju yang ia kenakan. Sadar bahwa ia menerobos hujan yang cukup deras alhasil bajunya basah tanpa celah.
Pak Mamat melanjutkan, "ini saya ada kain, masih bersih. Lebih baik Ibu benahi dulu, nanti kedinginan."
Bagaimanapun kalimat yang dilontarkan Pak Mamat benar, Jakarta mulai mendingin akibat angin yang bergulung kesana-kemari. Akhirnya, dengan rasa canggung Cita menerimanya dengan senyum sederhana. "Terima kasih banyak Pak, mari."
Tak selang berapa lama, Cita kembali melanjutkan langkahnya, menjejaki koridor bermaksud mencari ruang kepala sekolah. Walau beberapa kali salah arah -maklum, ia baru pertama kali menapaki kakinya disekolah Radista- akhirnya Cita menemukan ruang kepala sekolah setelah bertanya kepada beberapa murid yang lewat kala itu.
Ujung sepatunya sudah tepat di depan pintu, Cita mengatur nafas yang tidak seimbang untuk normal kembali, setelah nafasnya mulai seperti sedia kala akhirnya Cita mengetuk pintu beberapa kali.
Kenop pintu terputar. Senyum ramah menyambut Cita, tanpa berpikir panjang Cita pun membalasnya tidak kalah ramah. Pintu terbuka lebar, bu Lina mengendurkan senyumnya berganti dengan raut cemas saat mendapati sosok Cita yang basah akibat menerobos derasnya hujan beberapa menit lalu.
"Ya ampun.. basah kuyup begini. Ayo masuk Bu," Lina langsung menarik pelan lengan Cita yang lembab, mempersilahkan wanita itu untuk duduk terlebih dahulu.
"Ibu walinya siapa? Kenan atau Radista?"
"Saya walinya Radista."
"Dengan nama?"
"Kacita Lestari."
Lina mengangguk paham. "Baik. Saya panggilkan Pak Adinya dulu."
Cita hanya memberi respon senyum segaris. Setelahnya ia sendiri, memeluk sunyi yang sudah ia rasakan bertahun-tahun lamanya. Netranya yang kosong menatap lurus, memfokuskan penglihatannya pada satu titik hingga matanya memburam karna perih yang menjalar dimatanya.
"Hel-helen?"
Wanita itu terlonjak dari tempat duduknya, ia terkejut bukan main saat orang memanggilnya dengan nama yang sudah ia kubur begitu lama, menenggelamkannya hingga dasar lalu menguncinya rapat-rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accident
Fiksi RemajaRumpang yang tercipta berakibat celaka bagi kita. Perasaan kita berpetualang namun tak kunjung dipertemukan. Hingga saatnya kita satu namun tidak pernah padu. Kita sama-sama tidak bisa menyangkal takdir. Sejauh apapun kita pergi, kita hanya fana yan...