Part 1

690 23 2
                                    

Jalanan sangat macet, begitulah penampakan ibu kota. Sebenarnya Nabila belum terbiasa dengan situasi seperti ini, dikepung debu, dikelilingi rentetan kendaraan hingga membuat lingkup gerak sangat terbatas. Ia risih juga tidak nyaman terperangkap  macetnya Ibu kota.

Mungkin jika di kota nya, pemandangan seperti ini hanya terjadi saat bulan Ramadhan dan hari Raya saja, karna kebanyakan dari mereka senang menghabiskan waktu diluar saat bulan puasa dan hari raya apalagi dalam masa libur, banyak sekali yang keluar untuk berekreasi, baik itu ke Taman Kota, Waduk, Pantai atau bahkan ke Gunung.

"Ahk, sial ... 25 menit lagi," Nabila mendengus kesal karena sedari tadi ia menunggu tetapi tidak ada pergerakan sama sekali, ia terjebak kemacetan. Sementara jam kuliahnya sebentar lagi akan dimulai.

Kalau boleh jujur, Nabila tidak ingin pindah ke Jakarta. Namun karna suatu hal lah yang mengharuskan Nabila untuk ikut ke Jakarta. Apalagi ia kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan disini, ia sudah terbiasa dengan kehidupan dikampung yang ramah penduduknya. Namun beda disini, orang kota lebih dominan cuek dan tidak suka mencampuri urusan orang lain.

Setelah 15 menit berlalu akhirnya Nabila terlepas juga dari kemacetan. Ia mempercepat laju kendaraan supaya sampai dikampus tepat waktu. Ia hanya punya waktu tempur 10 menit untuk bisa mengikuti mata pelajaran pertamanya setelah hari pendaftaran.

Nabila masuk ke universitas ini tanpa melalui jalur ospek, jadi tidak banyak yang kenal dengannya. Berhubung keluarga Nabila memiliki orang dalam sehingga ia mendapat bantuan dari orang tersebut dan masuk dengan jalur eksklusif. Sebenarnya Nabila ragu menyebutnya keluarga, namun karna ia sendiri yang meminta Nabila untuk merepotkannya apa boleh buat.

Sesampainya diparkir fakultas kedokteran, ia langsung turun tanpa sempat melirik penampilannya yang sedikit berantakan. Ia langsung berlari menuju ruang kelasnya, bulir- bulir keringat yang keluar sebesar jengkol tak bisa dielakkan.

"Woi!" Bentak seorang pria dengan nada sarkasme, hampir saja ia terkena serangan jantung.

"Maaf, kak ... "

"Kamu masih punya mata kan? Emangnya kamu pikir mata itu cuma pajangan?"

"Maaf kak, saya buru-buru! 5 menit lagi kelas saya dimulai."

"Saya gak mau tau, mau kelas kamu 5 menit lagi dimulai atau tahun depan dimulai! Yang salah tetap aja harus tanggung jawab."

"Iya kak, saya bakalan tanggung jawab tapi setelah kuliah saya selesai, yah?" Nabila memohon pada pria tersebut.

"Dari mana saya bisa tau kalau kamu akan bertanggung jawab?"

"Sebentar, ini nomer hp saya. Nanti kakak bisa hubungi saya setelah kelas saya berakhir."

Setelah menyerahkan nomer handphonenya langsung saja berlari, mengingat waktu yang tersisa sangatlah minim. Ia tidak mau mengambil resiko disidang gara-gara terlambat ke kampus, apalagi kalau mereka tau kalau ia membuat masalah di hari pertamanya di kampus. Mungkin pilihannya hanya dua, menjadi daging guling atau campuran adonan bakso.

Kejadian tadi tidak sepenuhnya salah Nabila, karena mereka sama-sama berjalan dengan terburu-buru, hingga tabrakan juga tidak bisa dielak. Wajar bila pria tadi marah setengah pitam, kopi hitam yang dibawa olehnya tumpah mengenai makalah yang ia bawakan akibat bertubruk dengan tubuh mungil Nabila.

Langkah yang kecil kian dipercepat, dalam hati Nabila terus merapal doa-doa keramat yang ia pelajari di TPA dulu. Mungkin orang lebih mengenal dengan sebutan balai pengajian anak, khusus untuk anak yang berusia 7- 11 tahun. Karna untuk   anak yang berusia 12- 13 tahun sudah naik lagi tingkatan yang dipelajari, dan sudah diajarkan tentang hukum-hukum Islam secara mendasar seperti dasar ilmu tauhid, Nahwu, juga tasawuf agar si anak kedepannya dapat terarah kejalan yang benar serta tidak menyimpang dari agama.

"Assalamualaikum, pak."

"Wa'alaikumsalam, kamu siapa?" tanya sang dosen dengan aura mencekam, hingga membuat Nabila tidak berkutik bahkan untuk menjawab pertanyaan tadi saja lidahnya terasa kelu.

"Ada kepentingan apa dikelas saya?" Lagi-lagi pertanyaan mengintimidasi dilemparkan membuat Nabila bungkam.

"S-saya mau masuk kelas pak."

"Kelas yang mana?"

"Kelas bapak,"

"Benar dengan kelas saya?"

Nabila kelimpungan sendiri menjawab deretan pertanyaan dari dosen tersebut, apa mungkin ia yang salah masuk kelas atau mungkin dosen tersebut yang tidak mengetahui bahwa ia juga mahasiswa disini. Suasana hening sejenak, sampai akhirnya sang dosen mengeluarkan ajian pamungkas untuk menumbangkan gulma-gulma.

"Kalau kamu benar salah seorang murid ajar saya, pasti kamu juga tau tentang aturan dan peraturan  yang saya terapkan."

"Maaf pak, saya tidak tau."

"Kalau begitu, kamu tidak boleh masuk ke kelas saya sebelum mengetahui prinsip ajar dikelas saya."

"Tapi, pak ..."

"Silahkan keluar, Nona Nabila," Perintahnya dengan penekanan.

Kenapa di hari pertamanya ia harus dihadapkan pada masalah yang beruntun, belum juga selesai  masalah dengan senior yang ia tabrak tadi, ia kembali dihadapkan dengan masalah prinsip ajar sang dosen. Nabila memang mengenal sang dosen, bukan berarti Nabila juga tau prinsip yang ia pegang sekaligus. Mengenalnya adalah kesalahan terbesar yang ada didalam hidup Nabila.

"Maaf pak," ucap Nabila penuh penyesalan. Andai saja tadi ia mau mendengarkan Oma, pasti ia tidak harus terjebak kemacetan Ibu Kota.

Nabila meninggal ruang kelas dengan berat hati, ia malu menjadi tontonan publik, apalagi ada yang menatapnya dengan tampang sinis, iba dan banyak sekali ekspresi yang tidak bisa dibaca. Akan aku ingat seumur hidupku, dasar dosen tidak punya hati.

"Mentang-mentang dikandang sendiri aja berani!"

Suasana hatinya sedang tidak baik, ia butuh penyegaran untuk merefresh impuls-impuls yang tegang. Ah, siapa lah pria tadi yang ia tabrak? Nabila bingung dengan situasi yang ia hadapi.

"Kau pernah bilang kan, kalau nanti aku jadi seorang dokter kau mau mengabulkan permintaanku? Baru hari pertama saja aku ingin menyerah, bagaimana dengan hari esok dan selanjutnya?"

Ditekuknya dua lutut sebagai penopang kepala Nabila yang kini kian serabut, kenapa planning nya hari ini melenceng jauh sekali? Benar, kita hanyalah perencana sementara tuhan yang menentukan. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari kehendak sang kuasa.

"Baiklah Nabila, ayo kita hadapi hari ini! Apapun yang akan terjadi jangan sampai terlihat rapuh."

Nabila bangkit dari duduk, lalu menghembuskan debu yang mungkin saja tertinggal dibelakang bajunya. Ia meninggalkan taman, dan berinisiatif untuk mengelilingi kampus. Ia belum terlalu kenal dengan kampusnya, sekaligus untuk cuci mata, juga cuci pikiran dari pria monster jelmaan lobster.

Satu hal yang ada di kepala cantik Nabila saat ini, besar dan megah. Terlihat dari dekorasi juga ornament pelengkap lainnya, pantas kalau kampus ini termasuk jajaran kampus yang diincar oleh muda-mudi. Selain terlihat berkelas, kampus ini juga memiliki fasilitas yang lengkap. Ibaratnya 'Holang kaya punya' pantas saja mahal.

"Hei, kamu yang disana!" Semula Nabila tidak memperdulikan panggilan itu, mungkin bukan ditujukan padanya. Hingga sebuah botol minum kemasan yang airnya tinggal setengah mendarat tepat dikepala cantik Nabila yang terbungkus dengan hijab simpel.

"Ya Allah ... Siapa sih yang melempar botol sembarangan? Gak tau apa ini kepala masih dipakai, " Pekik Nabila cukup keras.

"Apa selain mata, telinga kamu juga bermasalah sayang?"

Mohon kritik dan juga saran perbaikannya.

Dear, NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang