Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Nabila. Seorang wanita paruh baya telah berdiri kokoh diambang pintu rumah dengan setelan rumahan berusaha melindungi Nabila, namun langkahnya terlambat hanya sepersekian detik sehingga satu tamparan lolos ke wajah putih Nabila.
"Dari mana saja kamu?" tanyanya dengan nada dingin, sedingin kutup dan dengan mata yang setajam elang.
"Tadi ... A-aku ...,"
Nabila bingung harus menjelaskannya dari mana, apa Nabila jujur saja tentang kejadian tadi pagi? Apa dia akan mendengarkan Nabila? Rasanya percuma saja menjelaskan kalau nantinya juga akan dianggap sebagai sebuah alasan untuk meloloskan diri dari tanggung jawab.
"Aku apa? Jawab Bila!" Bentaknya.
"Maafkan aku," ujar Nabila sembari menunduk, ia takut melihat kearah Al.
"Sudah Al, gak enak dilihat tetangga! Ayo masuk, kita selesaikan didalam."
Tanpa menjawab Al berlenggak pergi meninggalkan dua perempuan yang saling merengkuh, menyalurkan kehangatan untuk saling menguatkan. Perempuan paruh baya itu mengeratkan pelukannya pada Nabila yang sedari tadi mencoba tersenyum hangat, seolah-olah menjelaskan bahwa ia tidak apa-apa.
"Bila yang salah, Ma ...," suara Bila, yang tadinya sempat tercegat dikerongkongan.
"Kamu dari mana saja? Al sibuk menghubungi kamu tapi tidak dianggat-angkat."
"Bila mengerjakan tugas, Ma. Hp Bila lowbat makanya hp Bila gak bisa dihubungi."
"Kalau begitu ayo kita masuk dulu, diluar dingin," ajak Mama.
Setelah masuk kedalam, Nabila begitu terkejut karena disana sudah banyak keluarga yang sedang berkumpul. Tatapan mereka begitu dingin, sehingga Nabila mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan mereka.
"Haduh, anak gadis baru pulang."
"Memang dia masih gadis?"
"Mana saya tahu, apalagi kalau melihat tingkah nya yang sering pulang malam, hm ... Aku tidak yakin," Tante Nisa tidak melanjutkan lagi ucapannya namun semua orang pasti tahu kemana arah pembicaraannya.
"Jaga omongan mu! Aku tau cucu ku tidak begitu." bela Oma.
"Ibu kan gak tau, kita semua gak tau diluar dia itu seperti apa!" Bantah Nisa.
"Diam! Aku tidak meminta pendapat dari mu."
"Sebenarnya cucu Ibu itu Al, bukan gadis tidak tahu diri ini!" Teriak Annisa.
"Nabila juga cucu-ku, apa seperti itu tata krama-mu dengan orang tua?"
Semua terdiam, Nabila merasa tidak enak hati karna pertengkaran itu terjadi karena nya, "Maaf, Bila terlambat pulang karena mengerjakan tugas kampus."
Setelah itu Bila pamit untuk langsung ke kamar, karna untuk bergabung pun tidaklah mungkin apalagi setelah perang dingin barusan. Nabila benar-benar sakit kepala memikirkan setiap perkara yang berlangsung hari ini, ia belum siap dengan kehidupan yang harus ia jalani. Adaikan saja waktu bisa diulang kembali, Nabila akan bersikeras menahan Rauza untuk tidak pergi, juga dengan segala fakta yang ia bawa mati. Sementara aku, hidup dengan bayang-bayang mereka, menjadi saksi atas segala kekacauan hingga bertanggung jawab untuk semua kesalahannya.
Pintu kamar Haeqal sedikit terbuka, Nabila pun berinisiatif untuk mengeceknya. Apa mungkin mama masuk ke kamar Haeqal dan lupa mengunci pintu? Dari pada penasaran ia pun langsung melajukan langkahnya menuju kamar Haeqal yang bersebelahan dengan kamar Nabila.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, Haeqal pasti sudah tertidur. Namun saat pintu kamar Haeqal dikuak, disana terpampang lah dua orang pria yang sibuk berbincang. Sepertinya perbincangan yang serius, Nabila pun tidak ingin mengganggu hingga ia memilih untuk kembali menutup pintu kamar Haeqal.
"Bil ..." Panggilnya.
"Iya?"
"Masuk dulu, Mas mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Apa Mas?"
"Didalam saja."
Disana sudah ada Al dan juga Mas Eza, tatapan mereka semula terarah ke Nabila kini beralih ke Haeqal yang sudah terlelap dengan botol susu yang masih menempel di mulut mungilnya itu.
"Bil, sebelum berangkat kuliah kamu sudah mengecek suhu badan Haeqal?"
"Sudah Mas, suhunya normal."
"Tadi siang Haeqal demam tinggi."
Kali ini Al yang bersuara, pantas saja Al sangat marah pada Nabila dan sampai menamparnya. Haeqal adalah anak semata wayangnya dengan almarhumah, Al begitu menyayangi Haeqal melebihi dirinya sendiri.
"Dia demam tinggi, untung saja Al cepat memberitahukan Mas. Kalau terlambat sedikit saja itu bisa berbahaya, Bil. Kamu tahu kan kalau demam pada bayi itu bisa menyebabkan kematian. Jadi, Mas mu ingatin kamu untuk selalu memantau perkembangan Haeqal, cek suhu tubuhnya secara rutin agar kita tau perkembangannya," jelas Mas Eza panjang lebar.
Mas Eza adalah sepupunya Al yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah. Dia merupakan Dokter spesialis anak, Al sudah mempercayakan Haeqal seutuhnya pada Eza, ditambah lagi dengan jam terbangnya yang banyak, hal tersebut membuktikan bahwa ia merupakan seorang dokter handal yang jasanya ramai dipakai dan tidak diragukan lagi.
Nabila mendekati ranjang Haeqal, ia melihat anak itu yang terlelap. Sesekali mulutnya bergerak layaknya menyusu. Bayi yang malang, seharusnya diumur yang masih 8 bulan ia bisa mendapatkan ASI eksklusif yang dapat membantu perkembangan otak dan kecerdasannya kelak.
"Maafin bunda ya nak, bunda belum bisa jagain Haeqal dengan baik." Sesal Nabila.
Nasi telah menjadi bubur, sekalipun ia menangis sekarang ini juga tidak akan merubah kenyataan. Nabila mencoba untuk menjadi wanita yang tegar dan tangguh. Ia tidak mau terlibat rapuh sekalipun dunia menyudutkannya.
Semua itu juga tidak lepas dari pantauan Al, ia sangat protektif terhadap semua yang berhubungan dengan Haeqal. Untuk kejadian tamparan tadi, itu benar diluar kendali Al, biasanya ia bisa menahan diri. Entah kenapa bayangan ketika Nabila bersama istrinya membuat Al semakin benci melihat Nabila. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi istrinya.
Nabila yang melihat Haeqal rewel langsung menepuk punggung Haeqal untuk menenangkannya kembali. Setelah tenang, perlahan Nabila mengusap kepala Haeqal sayang. Apa sebaiknya ia tidak usah kuliah saja dan menjaga Haeqal sepenuhnya? Namun ia juga punya mimpi diumurnya yang terbilang muda. Diumur 18 tahun adalah waktu dimana remaja seusianya menikmati hidup, mencari jati diri mereka dengan melakukan berbagai hal yang menyenangkan.
Jujur Nabila iri dengan teman sebaya dengannya, namun ia tidak mau sedih berkelanjutan. Ia harus bisa mencoba untuk menerima dan mengikhlaskan yang telah terjadi. Ia percaya Allah sudah menyiapkan jalan terbaik, semua yang terjadi tidak lepas dari pantauan Allah. Karna jika Allah berkehendak, hal yang tidak mungkin bisa jadi mungkin dan kita tidak akan tau itu kapan, yang intinya kita harus memperbanyak ikhtiar dan doa.
"Kau sudah terlihat seperti ibunya saja, Bil."
"Tidak, Ibu Haeqal sudah tenang disana."
Mendengar ucapan Al barusan, entah kenapa hati Nabila terasa nyeri. Ada rasa tak terima atas penuturan Al, namun ia juga tidak memiliki hak untuk memberikan argumen ataupun bantahan. Nabila tau, Al dan Haeqal juga menjadi korban ketidakadilan. Oleh sebab itu Nabila tak pernah putus mendoakan Al dan juga Haeqal agar mereka dilimpahkan kebahagiaan, Nabila juga tidak masalah jika Al benci padanya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Nabila
RandomImpian terbesar Nabila adalah menjadi dokter anak, apalagi dengan sifat penyayang yang ia miliki membuatnya tidak kesulitan dalam hal mengambil hati anak-anak. Namun dibalik sifat penyayangnya itu ia termasuk pribadi yang tertutup dan kerap kali men...