Setelah berpikir panjang, Al sudah mengambil keputusan yang muktamat mengenai Haeqal. Kali ini ia tidak main-main dengan pilihannya, karena ia ingin memberikan yang terbaik untuk Haeqal.
Mungkin selama ini ia terlihat acuh pada Haeqal, sebenarnya tidak. Bukannya ia tidak ingin meluangkan waktu untuk Haeqal, akan tetapi ia tidak mau jikalau keberadaannya membuat suasana kembali tegang. Apalagi ia belum bisa memaafkan gadis itu.
"Ada yang ingin aku bicarakan mengenai Haeqal."
Aktivitas Nabila langsung terhenti setelah mendengar Al mengeluarkan suaranya. Dan sekarang, Nabila hanya menatap punggung Al dari kejauhan. Karena setelah mengatakan ia ingin berbincang, ia langsung meninggalkan Nabila yang masih terpaku ditempat.
Tak ingin membuatnya menunggu lama, Nabila mengikuti langkah Al dibelakang. Langkah kecil Nabila percepatan agar sampai tujuan dengan cepat.
Nabila sudah berdiri di pintu ruangan Al, ia ragu untuk melangkah ke dalam. Karena selama ini, ia tidak berani menganggu privasi Al sesuai kesepakatan yang telah mereka buat. Apalagi, ruangan tersebut adalah daerah teritorial Al.
"Masuk gak ya?" ujar Nabila menahan gugup.
Bukannya masuk, Nabila malah menghitung peruntungannya dengan permainan masa kecil. " Masuk, enggak, masuk,enggak, masuk, enggak, masuk, enggak,masuk,enggak, masuk, enggak,masuk,eng ...."
"Masuk!"
Belum sempat Nabila menyelesaikan kalimatnya, Al sudah lebih dulu keluar dan memerintahkannya untuk segera masuk.
"Cepat masuk!"
Tak ingin membangkang,Nabila pun masuk ke dalam ruangan Al yang tertata sangat rapi. Dan ini, pertama kalinya ia masuk kedalam ruangan Al. Tidak salah kalau semua mahasiswanya menjuluki Al sebagai dosen ter-perfeksionis. Bahkan tidak ada debu sedikit pun yang menempel pada ruangannya, padahal setahu Nabila, bibi yang bekerja disini jarang sekali masuk ke ruangan Al tanpa persetujuannya.
"Kamu masih tahu bagaimana caranya duduk, kan?"
'Sebenarnya ia menyuruh Nabila untuk duduk atau bagaimana?' batin Nabila.
Sulit menebak isi kepala Al, dari pada dianggap lancang Nabila memilih untuk berdiri saja. Lagipula Al sendiri juga berdiri, pasti akan sangat sungkan sebagai tamu malah duduk sedangkan yang punya ruangan berdiri.
"Kenapa kau sulit sekali diatur?"
"Hah?"
Persetan lah dengan sungkan, lagi pula ia sendiri yang menyuruhnya. Bahkan sekarang ia terlihat kesal pada Nabila karena tidak menuruti keinginannya.
"Ada apa? Apa yang ingin Abang bicarakan?" tanya Nabila to the point. Lagipula Al bukan orang yang tepat untuk diajak basa-basi, karena ia terlalu kaku untuk hal yang semacam itu.
"Aku sudah membuat keputusan mengenai Haeqal."
"Apa itu?"
"Aku ingin kau mencobanya!"
Nabila tampak menimang-nimang permintaan Al. Memang ini semua mutlak untuk kebaikan Haeqal, akan tetapi Nabila juga perlu memikirkan resiko yang harus ia hadapi nantinya. Apalagi proses juga prosedurnya yang lama membuat Nabila takut.
"Tapi .... "
"Aku tidak menerima penolakan Nabila. Harusnya kau bersyukur, setelah apa yang telah kau lakukan pada kami, aku tidak memasukkanmu dalam sel."
"Iya."
Pasti akan berakhir dengan hal yang menyakitkan, seperti dugaan Nabila. Menangis? Tidak akan. Ia tidak mau terlihat lemah didepan Al, apalagi Al tidak tahu apapun mengenai Rauza dan masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Yang Al tahu, Nabila penyebab dari kematian istri tercintanya.
"Kalau begitu, besok selesai kuliah kita akan menemui dokter Eza. Kau boleh keluar!"
Nabila hanya mengikuti saja keinginan Al, walaupun ia sakit diperlakukan seperti tidak ada harganya. Ia bukan robot yang harus mengikuti semua keinginan Al, dan setelahnya dicampakkan begitu saja.
Tetesan air mata Nabila kian deras, walaupun ia sudah menahannya agar tidak keluar. "Sampai kapan aku akan diperlakukan seperti ini?"
Nabila sudah lelah dengan drama yang harus dilakoninya. Bukannya ia tidak ikhlas, Nabila benar-benar lelah dengan keadaan yang selalu menyudutkannya.
Nabila kembali ke ruang tengah untuk mengambil labtop yang ia tinggalkan tadi untuk dibawa ke kamar. Lebih baik ia melanjutkan kegiatannya di kamar, lagi pula moodnya benar-benar hancur, walaupun sekedar melihat tumpukan tugas yang menunggu elusan tangan Nabila.
Sebelum Nabila masuk ke kamarnya, Nabila menyempatkan diri untuk melihat Haeqal. Setelah memperhatikan Haeqal lama, Nabila memberi sebuah kecupan padanya lalu kembali meninggalkan kamar Haeqal.
Daripada menyelesaikan tugas kuliahnya, Nabila lebih tertarik mengamati bulan dibalik celah gorden.
"Kenapa kau begitu jahat padaku? Setelah meninggalkanku, kau bahkan masih membawa rasa benci itu bersamamu. Hiks ... hiks ... emhp ...." Nabila sengaja menahan tangisnya dengan menggigit bibir bawahnya agar tidak menimbulkan keributan.
***
"Bajingan! Apa tidak ada cara lain?"
Madan menumpahkan kekesalan pada orang suruhannya. Ia bahkan seperti orang kesetanan setelah mendapatkan laporan perkembangan tentang gadis kecilnya, Ibil.
Ia seperti orang bodoh karena tidak bisa melindungi Ibil dari tekanan yang ia dapatkan. "Akh ... Bajingan! aku tidak akan memaafkamu."
Madan terlalu fokus pada misi, hingga melupakan tujuan utamanya. Ia benar-benar menyesali kelalaiannya, sampai membuat Ibil dalam bahaya.
"Cukup Madan! Kau bisa membunuhnya." Cegah Sahrul.
"Ibil ku, aku tidak bisa menjaganya hiks ...."
"Tidak, ini bukan salahmu. Kamu sudah berjuang untuk menemukannya bahkan melindunginya sampai detik ini. Ini jelas bukan salahmu." Sahrul merangkul tubuh Madan agar bisa lebih tenang.
Sahrul sudah berteman lama dengan Madan, jadi ia sudah tahu bagaimana sifatnya. Sebenarnya Madan adalah pria yang baik dan juga pribadi yang lemah lembut, itu dulu tidak untuk sekarang. Madan yang dulu benar-benar telah hilang ditelan ganasnya ombak Teluk Persia. Tragedi yang membuat ia kehilangan separuh jiwanya, diterkam badai penghianatan.
Sahrul dan Madan berteman baik sejak masuk pondok, bahkan sudah saling mengenal sebelumnya, hanya saja mereka tidak terlalu akrab. Persahabatan mereka dimulai saat mereka satu asrama dan juga dengan dua yang lainnya.
Namun Sahrul memilih untuk keluar dari pondok saat masuk semester satu kelas 2 SMA, karena suatu hal yang tidak bisa ia ceritakan. Madan memilih untuk bertahan hingga ia menyelesaikan sekolah menengah atasnya.
"Bagaimana ini? dia sudah terlalu banyak menderita karena ku," racau Madan.
Ia benar-benar kehilangan jati dirinya yang selama ini ia tunjukkan, pria dingin tak berhati. Ia lemah jika dihadapkan pada masalah yang menyangkut dengan masa lalunya yang kelam.
"Lebih baik sekarang kau tenangkan dirimu."
"Bagaimana aku bisa tenang sementara dia menderita disana karena kesalahanku," suara Madan penuh emosi.
"Baiklah, apa rencanamu sekarang?"
Madan terdiam, ia tampak sedang memikirkan strategi untuk bisa mengambil alih kendali monopoli yang mereka mainkan. Ia tidak bisa sembarang mengambil langkah, karena begitu langkahnya teridentifikasi maka data dirinya juga akan terkuak, juga melibatkan misi-misi yang telah mereka jalankan selama ini dan ini akan menyulitkan Madan untuk mengembalikan semua seperti semula, seperti yang telah ia janjikan pada gadis kecilnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Nabila
RandomImpian terbesar Nabila adalah menjadi dokter anak, apalagi dengan sifat penyayang yang ia miliki membuatnya tidak kesulitan dalam hal mengambil hati anak-anak. Namun dibalik sifat penyayangnya itu ia termasuk pribadi yang tertutup dan kerap kali men...