Selalu saja ia bertingkah seenaknya, ia menghakimi seolah Nabila tersangka utama. Padahal apabila dikulik lagi, tidak sepenuhnya salah Nabila. Seandainya saja dia tidak keras kepala pasti hal tadi tidak terjadi."Kenapa bisa terlambat?"
Harusnya pertanyaan itu tidak perlu dilontarkan karna dia juga sudah tau alasan Nabila terlambat. Ditambah dengan kemacetan Ibu kota yang semakin parah.
"Ingat! Saya membawamu kesini bukan untuk bersenang-senang apalagi untuk berpacaran. Apa perlu saya ingatkan tujuan utama kamu kesini? Apa perlu saya memberi tahukan dia kejadian hari ini? Kamu tau kan, kalau pertemuan pertama menentukan image kamu kedepannya. Jadi berhentilah bersikap bodoh."
Dia bahkan tidak memberi celah bagi Nabila untuk menjelaskannya. Belum sempat Nabila mengeluarkan unek-unek, dia langsung saja meninggalkan ruangan. Dan tinggal lah Nabila dengan segala kedongkolan yang mencapai ubun-ubun.
"Siapa juga yang mau tinggal disini, kalau bukan karena tanggung jawab aku juga tidak mau capek-capek pindah kota, beradaptasi dengan lingkungan. Dia pikir semua itu semudah membalikkan telapak tangan! Dasar manusia lobster!"
Nabila berkali-kali menarik nafas dengan kasar, ia tak habis pikir dengan jalan pikiran manusia yang satu itu, apa kehidupannya hanya seputar pekerjaan, nilai dan materi ajar?
Ting!
Satu notifikasi WhatsApp masuk dari nomer tak dikenal. Namun setelah melihat isinya, tanpa perlu menyebutkan namanya saja kita sudah tahu. Siapa lagi kalau bukan manusia diktaktor, yang terlalu perfeksionis.
+62 823 3277 8879
" IP yang harus kamu dapatkan untuk semester ini 2,8. Jadi jangan hanya mementingkan tentang pacaran dan cara bersenang-senang."
Nabila meneguk kasar air yang tergeletak diatas meja kerja Al, ia merasa hidup pada zaman kolonial Belanda, jiwa serta batinnya benar-benar dijajah. Bahkan ia tidak memiliki hak untuk mengeluarkan suara, ia capek juga lelah dengan semua permainan yang telah mereka atur.
Saat keluar dari ruang kerja Al, semua menatapnya dengan tatapan yang iba. Karena rata-rata yang masuk kedalam ruangan lucnuth itu hanyalah orang terpilih saja, contohnya seperti Nabila. Ruangan yang sangat ditakuti oleh semua mahasiswa, lebih-lebih lagi bagi mahasiswa tingkat akhir. Bahkan untuk sekedar mengunjunginya saja mereka tidak ada niatan.
Tiba-tiba sebuah tangan menyeretnya dengan cepat menuju ke suatu tempat. Ia tau siapa pemilik dari tangan tersebut, namun Nabila membiarkan saja ia digiring semaunya. Karna untuk membantah juga Nabila tidak berdaya. Terkadang Nabila heran dengan kehidupannya yang dikelilingi oleh orang-orang dingin dan diktaktor. Harusnya mereka tau, tidak semua keinginan dapat mereka penuhi, sekeras apapun usahanya.
"Kenapa kau selalu membuatku kesal?" Tanya nya begitu dingin.
Nabila tidak menjawab dan hanya mengikut saja langkah besar pria tersebut. Walau bagaimanapun, ia salah dan harus bertanggung jawab dengan masalah yang ia buat hari ini. Apalagi Sufi sudah lebih dulu menemui Nabila saat mereka di taman dan mengingatkan nya untuk bertanggung-jawab.
Langkah mereka terhenti tepat di sebuah ruangan kecil dan tidak terlalu higienis. Terlihat dari debu-debu yang menempel di dinding seakan tidak pernah berkenalan dengan kemoceng. Nabila melirik ke arah Sufi meminta penjelasan, namun pria tersebut seakan tidak suka dengan tindakan Nabila barusan, tanpa menjawab Sufi masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan itu dan kemudian diikuti oleh Nabila.
"Duduk!"
Auranya sangat tidak bersahabat, apalagi dari sikapnya barusan, Sufi termasuk tipe orang yang tidak suka basa-basi. Ia membuka tas punggung yang ia kenakan lalu melemparkan selembar kertas penuh coretan kehadapan Nabila. Setelah melihat isi dari coretan tersebut, matanya membulat sempurna.
"Tidak perlu protes karna kamu juga, aku kena hukuman dari pak Al."
"Tapi, perjanjiannya terlalu berat di aku!"
"Salah kamu sendiri, aku tidak mau tau! Pokoknya dalam jangka waktu seminggu semua sudah beres!"
Nabila hanya bisa mendengus kesal, bagaimana mungkin 1000 lembar bisa dia kerjakan dalam waktu seminggu. Lain lah kalau itu dikerjakan secara berkelompok bukan individu pasti akan semakin cepat selesainya.
"Tapi kalau dikerjakan secara bersama pasti akan cepat selesai," usul Nabila pada Sufi namun seolah tidak ditanggapi. Terbukti, Sufi malah sibuk membolak-balikkan lembaran makalah yang terkena kopi. Cetakan air kopi yang terkena makalah tersebut persis seperti cetakan pulau yang ada di Indonesia, walaupun cetakannya tidak terlalu besar namun tetap saja akan menjadi masalah besar untuk seorang Al yang terkenal sangat perfeksionis.
"Kalau kamu terus berdiri disana juga tidak akan selesai."
"Baik paduka raja."
"Hmm ... "
Akan lebih baik kalau Nabila memilih untuk diam dan mengikut saja apa yang Sufi mau. Karna meminta keringanan pun suatu hal yang mustahil, mengingat sifat kutub yang ia miliki sangat susah untuk diajak kerjasama.
Kali ini Nabila sangat menyesali kecerobohannya, andai aja ia tidak terburu-buru ke kelas pasti ia tidak harus terjebak dengan mengetik kembali makalah yang jumlahnya bikin istighfar mendadak. Belum lagi sesampainya dikelas malah diusir karna terlambat 3 menit 27 detik juga dengan prinsip ajar sang dosen maha benar.
Tangan Nabila terus berpacu dengan deretan huruf menjadi susunan kalimat yang padu. Sesekali ia merenggangkan otot sarafnya yang menegang. Pegal tentu saja ia rasakan, bahkan tulang belakangnya hampir saja remuk karna dipakai untuk duduk dalam waktu yang lama.
Sesekali Nabila melirik kearah Sufi yang juga sedang ikut mengetik, ia seakan tidak terganggu sama sekali dengan naskah yang panjangnya subhanallah. Mungkin ia sudah terbiasa dengan makalah setebal ini, karna sedari tadi ia tidak terlihat mengeluh.
"Saya harap sekarang kamu paham kenapa saya marah!" ujar Sufi sambil terus mengetik, mata masih terfokus pada layar laptop hingga sesekali ia membenarkan letak kacamata baca nya.
"Iya, saya minta maaf," ucap Nabila penuh penyesalan.
"Kata maaf tidak akan menyelesaikan makalah ini, jadi cepatlah mengetik karna saya juga punya kegiatan lain."
Nabila kembali melanjutkan ketikannya, tak terasa hari ini Nabila sudah mengetik lebih kurang 79 halaman. Rencananya ia ingin menggenapkan saja, namun tangannya yang tremble susah untuk diajak bekerjasama.
"Baiklah untuk hari ini cukup sampai segini aja, besok kita lanjutkan lagi."
Dalam hati Nabila tak hentinya mengucap syukur, bila pun dipaksa untuk terus mengetik Nabila sendiri tidak yakin sanggup. Sufi mengambil alih laptop yang ada dihadapan Nabila, lalu memindahkannya kedalam flashdisk.
"Untuk seorang pemula 79 halaman sudah lumayan."
"Makasih," ucap Nabila.
"Aku tidak memujimu," balas Sufi.
Andaikan saja Nabila sekuat Bongsoon yang ada di film strong woman the Bongsoon pasti sudah memberi pelajaran pada Sufi yang bertingkah semaunya. Walaupun Nabila bersalah seharusnya ia juga bisa menghargai sedikit perjuangan serta pengorbanan Nabila. Padahal Nabila sudah berusaha meluangkan waktunya untuk mengerjakan makalah Sufi, yang seharusnya sekarang ia gunakan bersama dengan Haeqal.
"Ya ampun, Haeqal ... " Pekik Nabila histeris, lalu ia buru-buru mengemasi barangnya dan langsung keluar dari ruangan tadi menuju ke tempat parkiran.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Nabila
RandomImpian terbesar Nabila adalah menjadi dokter anak, apalagi dengan sifat penyayang yang ia miliki membuatnya tidak kesulitan dalam hal mengambil hati anak-anak. Namun dibalik sifat penyayangnya itu ia termasuk pribadi yang tertutup dan kerap kali men...