Bukan hanya Nabila saja yang merasakan gelegar aneh, Al juga merasakannya. Sangat canggung rasanya menanyakan hal sesensitif itu pada Nabila, sekalipun ia sudah menjadi istri sahnya Al, walaupun tidak dianggap.
Status Nabila hanya sekedar formalitas, karena hubungan ini juga tidak mungkin bertahan lama mengingat sifat keduanya yang sama-sama enggan untuk saling membuka hati, terlebih lagi Al.
Al jadi teringat pesan Eza padanya mengenai program induced lactating. Eza menyarankan Al untuk membantu Nabila dengan memberikan pemijatan oksitosin agar proses pengeluaran ASI nya lancar.
Apa Al bisa melakukannya? Selama ini Al bahkan belum pernah menyentuh Nabila, kecuali di hari akad mereka dan saat menarik Nabila kedalam ruangannya, itu pun bukan karena ia ingin menyentuh Nabila, lebih tepatnya ia ingin memberi pelajaran pada gadis itu agar tidak bertingkah semaunya, karena ada martabat yang harus ia jaga.
Al mengetikan pesan pada Eza. Ia ingin membicarakan masalah ini dengan Eza, karena Eza pasti punya solusi.
'Za, kapan kau ada waktu? Kalau punya waktu luang, nanti hubungi aku."
Kini Al baranjak dari kamarnya menuju ruang kerja karena ada beberapa file yang belum diperiksa. Banyak revisi skripsi mahasiswa yang belum sempat ia lihat, ditambah lagi dengan rangkap nilai juga belum ia kerjakan.
Tak salah kalau keluarganya menyebut Al 'si penggila kerja' padahal ia baru saja pulang dari seminar dan belum sempat beristirahat sudah harus memeriksa nilai mahasiswanya.
Untuk masalah pekerjaan ia memang terkenal dengan profesional dan rapi. Karena prinsip yang dianut olehnya, tidak suka menunda-nunda pekerjaan. Bila bisa ia kerjakan sekarang, kenapa harus menunggu besok!
Bagi Al, hari ini adalah ujian, dan hari esok adalah tantangan. Oleh sebab itu Al akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan ujiannya, karena ia suka kesempurnaan. Dan hari esok adalah tantangannya untuk menjadi lebih baik dari hari ini.
Background labtop di ruang kerja Al pun tak jauh-jauh dari hal yang berbau Rauza. Hampir semua barang yang ada dalam ruang kerjanya adalah barang peninggalan Rauza. Al tidak mengubah sedikit pun letak barang di ruangan ini, karena ini adalah tataan istrinya, sebelum ia pergi. Al hanya membersihkannya dari debu, lalu meletakkan kembali barang tersebut pada tempatnya.
Figura Rauza juga masih setia menemani Al mengerjakan tugasnya. Sekalipun Rauza telah lama pergi dari dunia ini, ia tetap hidup dalam hati Al. Bahkan sepenuhnya hati Al sudah ia serahkan pada Rauza, tidak ada ruang sedikit pun untuk yang lain, termasuk Nabila. Sekalipun itu adalah permintaan terakhir dari almarhumah.
"Sayang ... aku rindu. Bahkan rasa ini masih sama seperti dulu. Tak berubah sedikitpun," gumam Al pada foto Rauza. Saking rindunya ia pada sosok Rauza, ia mendekap erat fotonya.
Pipi Al selalu terasa panas saat merindukan Rauza. Tak ada yang lebih berat dari rasa rindu yang tak bisa disalurkan.
Al bangkit dari kursi putarnya dan berjalan ke arah rak buku milik sang istri. Al jadi teringat moment saat ia bersama Rauza dulu, Rauza bersikeras ingin memasukkan koleksi novelnya dalam jejeran map kerja Al, yang ditolak mentah-mentah oleh Al hingga membuat Rauza merajuk sepanjang hari.
Alhasil Al mengizinkan Rauza untuk menggunakan rak bukunya untuk novel-novel jelek milik Rauza. Daripada ikut kehaluan Rauza, Al lebih menyukai hal yang bersifat nyata, seperti dokumen kerjasama dengan beberapa perusahaan, misalnya.
Al berjalan tepat pada rak novel kesukaan istrinya. Hampir semua novel milik Rauza bergenre romantis, sedangkan Al tampak acuh dengan kehaluan Rauza hingga membuatnya kesal atas ketidakpekaan Al. Sementara Al tetap seperti biasa, menjadi pria kaku yang disiplin.
Al mengambil salah satu novel yang sangat sering dibaca oleh Rauza, karangan dari Tere Liye. Hal yang sering dilakukan lainnya oleh Al selama ditinggal Rauza adalah mendekam dalam ruangan ini sambil melihat-lihat barang kesukaan Rauza sembari membaca sebagian novel kesukaan istrinya.
"Pantas saja kelakuan istriku kadang-kadang absurt," kekeh Al. Ia baru paham maksud dari semua kode yang diberikan Rauza selama ini.
Sulit mengartikan keinginan perempuan. Karena hampir semua kode yang ditunjukkan itu bermakna ganda. Jadi, jangan salahkan laki-laki kalau ia tak peka!
Saat Al dengan khidmat membuka lembar demi lembar novel yang ada didalam genggamannya, tiba-tiba ia menemukan sebuah foto. Disana terdapat 3 orang manusia yang saling tersenyum dengan perbedaan usia yang tak begitu jauh.
Setahu Al, selama ini Rauza tidak memiliki saudara laki-laki. Lalu siapa lelaki yang bersama dengan Rauza dan Nabila!
Al merasa tak asing dengan wajah lelaki itu. Apa mungkin ia adalah lelaki yang sama dengan yang Al kenal?
"Sorry? Apa maksud dari tulisan ini?" Al tahu kalau tulisan ini memiliki maksud tertentu.
Al kembali membuka lembaran demi lembaran, siapa tahu ada foto lainnya yang lebih akurat. Ia tak habis pikir dengan kelakuan istrinya, kenapa Rauza sangat suka bermain detektif dengan meninggalkan kode-kode aneh tanpa penjelasan.
Dan benar saja, sekarang Al malah menemukan kunci kecil yang diselipkan dalam lembaran buku. Ukurannya yang tipis membuat kunci ini tertutup dengan sempurna.
"Apa lagi ini?" gumam Al.
Lebih baik ia kembali bekerja, daripada memikirkan permainan detektif ala istrinya yang membingungkan. Kunci tipis itu langsung dimasukan kedalam kantong celana.
Baru beberapa langkah ia berjalan, Al teringat sesuatu dan kembali ke rak novel tadi untuk mengecek kembali foto tersebut. Gambar pria dalam foto itu mengingatkannya pada Rama, teman asrama Al dulu saat di pondok.
"Mereka sangat mirip."
Setelah itu ia kembali melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Kerja, kerja, dan kerja. Rutinitas wajib yang tak bisa ia tinggalkan. Banyak proposal yang memerlukan tanda tangannya disana, juga banyak materi yang harus ia kuasai untuk bahan ajar esok.
Sekitar jam 10 malam ia belum juga keluar dari ruang kerja dan melewatkan makan malamnya. Nabila berinisiatif untuk membawakan saja makanan ke dalam ruang kerja Al, karena ia terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan tak sempat untuk makan.
Tok ... tok ... tok.
Cklek!
Al berdiri sudah berdiri diambang pintu, ternyata Nabila datang membawakan makanan untuknya.
"Taruh saja di atas meja!"
"Iya,"balas Nabila.
Nabila melenggang masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa menaruh kecurigaan apapun. Namun, saat Nabila hendak keluar, Al malah menarik pergelangan tangan Nabila.
"Aku ingin menanyakan sesuatu!"
"Mengenai?"
"Pria."
'Pria? Siapa sebenarnya yang Al maksudkan?' batin Nabila.
Al menyerahkan foto yang ditemukan tadi pada Nabila. Wajah Nabila tiba-tiba memucat, jelas ia kenal dengan pria yang dimaksudkan Al. Dia adalah bang Rama.
"Aku tahu, kamu pasti kenal dengannya! Ada hubungan apa kalian dengan pria ini?"
"Kami hanya sebatas sahabat."
"Dengan Rauza juga?"
"Maksudnya?"
"Apa dia juga bersahabat dengan Rauza?" Nabila mengiyakan pertanyaan Al.
"Kenapa tiba-tiba menanyakan tentang bang Rama?"
"Tidak ada. Kau bisa keluar sekarang!"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Nabila
RandomImpian terbesar Nabila adalah menjadi dokter anak, apalagi dengan sifat penyayang yang ia miliki membuatnya tidak kesulitan dalam hal mengambil hati anak-anak. Namun dibalik sifat penyayangnya itu ia termasuk pribadi yang tertutup dan kerap kali men...