part 10

155 7 0
                                    

Al

Al-Hafizi, Rita memberikan nama tersebut pada Al agar nantinya ia menjadi seorang hafidz. Apa lah daya kalau takdir berkata lain. Al memang dulu sempat dibesarkan dilingkungan pesantren terpadu selama 3 tahun, dan setelah menginjak bangku SMA ia meminta untuk sekolah di luar.

Pondok memang identik dengan tempat keagamaan. Ada satu fakta umum tentang pondok, yaitu terkurung dan tertata dengan aturan. Sementara Al, ia ingin menyelami kehidupan luar. Rasa penasarannya terhadap dunia luar semakin menjadi-jadi saat sesekali ia pulang, dan melihat teman sebayanya yang sudah banyak berubah.

Untuk remaja sebaya Al kala itu, mengikuti fashion dan trend terbaru adalah suatu kesenangan yang bisa memuaskan batin. Entahlah, Al juga tidak yakin. Karna ia lebih dominan pada mengikuti hawa nafsu.

Seperti remaja lain, Al mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya. Jika di pondok, ia mungkin akan dengan mudah bersosialisasi dengan yang lain, karna ia hanya bertemu dengan teman yang sama. Sementara di sekolah Negeri, ia sedikit kesulitan beradaptasi pada awal-awal, mungkin karna belum se-frekuensi.

Kehidupan SMA Al mulai terasa berwarna saat ia sudah menanjak ke kelas 11. Ia mulai aktif mengikuti ekstrakurikuler, dan sering juga mengikuti kelas sharing tentang palang merah remaja.

Sejak saat itu, Al sudah mulai menunjukkan ketertarikannya pada hal-hal yang berbau medis. Mulai dari  tindak pertolongan pertama, sejarah kepalangmerahan, juga ikut mempraktekkan pembuatan tandu darurat. Bahkan saat itu, posisinya di PMR adalah sebagai leader.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, Al mencoba mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran. Dan Alhamdulillah ia masuk lewat jalur undangan. Sebenarnya, sekalipun ia tidak mengikuti persyaratan yang tertera, ia juga pasti lolos dengan mulus. Namun, ia bersikeras untuk masuk kuliah dengan usahanya sendiri, tanpa campur tangan orang tua ataupun sang kakek, yang kala itu masih menjadi pemegang sah kampus  tersebut.

Disinilah awal mula Al mengenal sosok Rauza. Sosok perempuan tangguh yang kadang suka bertingkah seperti anak-anak, juga bisa dalam sedetik kemudian ia menjadi buas layaknya singa.

Pertemuan mereka memanglah tidak semulus yang di FTV pagi. Memang kedekatan mereka berawal dari kebencian Rauza pada Al yang tidak sengaja menabraknya. Saat itu Al sedang serius memeriksa e-mail yang masuk, ia malah berjalan tanpa melihat ke depan. Hingga ia tersadar saat seorang perempuan dengan tubuh mungil itu menabrak dada bidangnya.

"Hei! Kalau jalan itu pakai mata," Amuknya.

"Iya, maaf."

"Aku bisa mencium bau ketidaktulusan disini! Kau harus mengulanginya!" Perintah Rauza kalau itu.

"Iya, aku minta maaf! Apa itu tidak cukup?" tanya Al yang mulai geram.

"Wohoho ... belagu sekali anda, kaya yang punya kampus ini aja!"

Al meninggalkan Rauza yang masih mengoceh disana. Sementara yang ditinggal masih belum puas hati mengeluarkan unek-uneknya. Dengan nekat, Rauza menubruk kepala Al dengan tas samping yang ia kenakan.

Sekalipun ia harus berusaha keras untuk menggapai kepala Al yang menjulang layaknya tower untuk Rauza yang bertubuh imut. Berjinjit adalah satu-satunya cara yang bisa ia andalkan, walaupun ia juga harus menahan sakit pada ujung kakinya.

"Hei, tower! Bisa-bisanya kamu ninggalin aku yang sedang memberikan petuah padamu agar menjadi manusia lebih baik!" Nabila menyeru hanya dalam satu kali tarikan nafas.

Semua mata sedang tertuju pada mereka, hingga seorang pria datang dan menahan Rauza agar tidak terlampau. Entah apa yang ia bisikan sampai akhirnya Rauza, meminta maaf dan langsung pergi.

"A-aku gak tau, kalau kamu itu ... ah yang intinya aku minta maaf."

Selesai mengatakan maaf, Rauza mengikuti pria tersebut. Al tak ambil pusing kala itu. Hingga entah angin apa yang membawanya menjumpai Al dan menyatakan perdamaian. Ia juga sangat gigih untuk meluluhkan hati Al, agar mau memaafkannya. Entahlah, saat itu aku menganggapnya itu adalah sebuah sogokan.

Setiap hari dia datang dengan bekal yang selalu diteng-teng, bekal yang akan diberikan pada Al  sebagai ucapan terimakasih juga permintaan maafnya dengan tulus. Hingga ia terbiasa dengan kehadiran Rauza yang mampu merubah dunianya.

Kala itu, untuk pertama kalinya ia melihat Rauza menangis dan dalam keadaan gusar. Aku mencoba untuk menenangkannya namun ia malah pergi dan mengatakan hal yang tidak bisa kupahami.

"Kenapa harus dia? Aku juga ingin seperti dia!"

Dia siapa? Dan apa yg ia bicarakan?

Setelah kejadian itu Rauza menghilang selama seminggu. Kontaknya tidak bisa dihubungi, membuat Al jadi panik sendiri. Apa dia baik-baik saja? Dan setelah selesai kuliah, Al mencoba mencari Rauza di kediamannya akan tetapi nihil. Bahkan rumahnya sepi, seperti sudah ditinggalkan.

Dan seminggu kemudian Rauza muncul dengan wajah yang berbeda ketika terakhir kali Al temui. Wajahnya sekarang sudah kembali ceria. Namun hal mengejutkan selanjutnya terjadi, Rauza menyatakan cintanya pada Al.

"Al, aku suka sama kamu. Ayo kita pacaran!"

Aku masih terdiam sambil mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut mungilnya. Apa ia sedang latihan drama? Ah ini sama sekali tidak lucu.

"Apa kau pikir bisa sembarang mengatakan itu?"

"Iya, aku tau. Makanya aku mengatakannya padamu."

"Baiklah, kau sendiri yang meminta jadi jangan salahkan aku kalau aku tidak akan melepaskanmu nantinya." Ucap Al lantang.

Entah sejak kapan ia mulai menyukai gadis tersebut. Apa mungkin, cinta mereka datang karena terbiasa bersama? Jika iya, maka Al berharap mereka tidak akan terpisahkan, kecuali maut yang memisahkan.

Awal-awal mereka menjalani hubungan memang sedikit garing. Tidak ada panggilan sayang atau ucapan romantis, karna Al adalah tipe orang yang tidak suka membual. Ia lebih suka kerja nyata. Iya mau menunjukkan rasa cintanya itu melalui tindakan juga perlakuan manis yang ia berikan setiap harinya.

Selayaknya hubungan pasti ada goncangan, baik itu tinggi maupun rendah tergantung dari pribadi yang menjalani. Al sangat mudah cemburu, apalagi saat melihat Rauza memeluk pria lain sambil menangis pada pria tersebut, membuat hati Al benar-benar remuk.

Kukira saat itu adalah akhir dari hubungan kami. Setelah mendengarkan penjelasannya aku mencoba untuk mengerti posisinya, tapi aku memberikan syarat pada Rauza untuk menceritakan apapun masalah yang ia hadapi.

"Jadikan aku tempat bersandarmu!"

Itulah kata yang sering ku ucap saat ia menangis. Sangat sakit melihatnya seperti ini, apalagi ia belum mau terbuka sepenuhnya pada Al. Setiap kali ditanya, ia akan menangis hingga membuat Al mengurungkan niatnya untuk kembali bertanya.

TBC.

Dear, NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang