part 27

284 10 0
                                    

Setelah melakukan pemeriksaan juga konsultasi dengan dokter kandungan, akhirnya Nabila bisa memproduksi ASI dengan bantuan alat feeding tube.

"Apa masih lama?"

"I-iya," balas Nabila ragu.

"Apa ... ini tidak bisa dilakukan sendiri?"

Nabila menggeleng lemah, karena memang tak bisa. Penggunaan selang feeding tube itu harus ada bantuan dari orang lain. Haeqal juga sering menolak saat Nabila menyusuinya, karena  belum terbiasa.

Al memang menyayangi Haeqal, akan tetapi ini sangat menyiksa. Sekalipun Al tak pernah memandang kepada Nabila, ia juga tak bisa menolak pemandangan yang disuguhi di depannya.

Laki-laki normal mana yang akan menolak bila disuguhi nikmat Tuhan seperti ini. Terlihat Al sangat tidak nyaman saat membantu Nabila memasangkan selang feeding, begitu pula dengan Nabila yang merasa risih saat kulitnya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Al.

Malu, lebih mendominasi keduanya. Apalagi Al, berulang kali ia berdeham untuk menetralkan rasa canggung yang terjadi diantara mereka.

Haeqal tampak menikmati, setelah sebelumnya menangis dan menolak menyusui pada Nabila. Sekarang ia tampak lebih tenang. Tangan Nabila senantiasa menepuk punggung Haeqal agar ia bisa langsung tidur setelah menyusu.

"Sepertinya dia sudah tidur," beritahu Al pada Nabila.

"Ah iya."

Sekarang Al mengambil alih Haeqal dalam pangkuan Nabila untuk di masukkan kedalam box bayi. Sementara Nabila langsung melepaskan selang feeding.

Ini pertama kalinya ia menyusui Haeqal setelah sebelumnya sempat gagal karena air susu yang keluar hanya setetes. Jangan tanyakan bagaimana kondisi wajah Nabila saat ini, yang jelas wajahnya merah menahan malu.

Nabila beranjak dari dudukannya hendak keluar dari kamar Haeqal. Namun, Al malah menahannya, membuat Nabila mengurungkan niat untuk keluar.

"Kenapa?"

"Jangan disini, kita bicara di ruanganku saja." Nabila mengangguk patuh, lalu mengikuti Al dari belakang.

Tampaknya Al ingin berbicara serius, apalagi rautnya yang dingin semakin mendukung argumen Nabila. Sesampai mereka di ruang kerja Al, Nabila dipersilahkan untuk duduk.

"Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" Bodoh! Jelas saja kalau Al sudah berbicara padanya, itu artinya ada pembicaraan yang serius. Kalau tidak, mana mungkin Al mau bertemu dengan Nabila.

"Ya, aku ingin kau menjelaskan ini!" Al menyodorkan sebuah buku merah muda, yang Nabila yakini itu milik Rauza, kakaknya.

"Apa?"

"Dibuka aja!" Mata Al senantiasa memantau gerak Nabila, ia seperti mencari sesuatu yang Nabila sembunyikan darinya.

Sesuai perintah, Nabila membaca setiap kalimat yang dituliskan kakaknya dan menyerap isi dari setiap bait yang tercetak disana.

Memang sudah menjadi rahasia umum, kalau selama ini Rauza sangat menyukai Rama. Bahkan ia sengaja mencari topik pembicaraan atau mengajaknya untuk belajar bersama agar bisa berlama-lama dengan Rama, karena pria itu tak bisa menolak permintaan seorang yang butuh bantuannya.

"Apa yang ingin kau ketahui dari ini?"

"Siapa M?"

"Aku tidak memiliki wewenang untuk menjawab, lagi pula itu hanya masa lalu."

"Aku bertanya siapa dia! Siapa pria yang disebutkan Rauza?" bentak Al, ia sudah tersulut emosi melihat Nabila enggan memberitahunya mengenai laki-laki yang pernah disukai istrinya, Rauza.

Dear, NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang