"Sah! "
Gaungan seruan para hadirin menyadarkan ia dari mimpi buruknya, tak pernah sekalipun terpikir dalam kepala cantiknya untuk menjadi yang kedua. Bayangannya selama ini adalah menjadi satu-satunya wanita yang menghiasi hidup suaminya kelak, saling mencintai dan hidup bahagia.
Ketika ia ingin mengeluarkan suara, akan tetapi suaranya seakan tercegat hingga ia memilih untuk diam, mengikuti alur Tuhan. Tak ada seorangpun yang bahagia disini, mereka lebih kepada memikirkan nasib bayi yang masih berumur 7 bulan kala itu. Ia tidak bisa membantah apalagi mengajukan perundingan setelah kejadian kelam menimpanya dan Rauza.
"Cium tangan suamimu, Nak!"
Dengan tangan rapuh ia menuntun Nabila untuk mendekati pria yang baru 2 menit yang lalu menjadi suaminya. Langkah ragu dan takut lebih mendominasi saat ini, ditambah dengan wajah merah dan sembab. Aku memang mencintainya tapi tidak ada sedikitpun niat dalam hatiku untuk merebut kebahagiaannya.
Beberapa kali photografer mengambil moment mereka agar mendapatkan gambar yang sesuai ekspektasinya. Terlihat jelas disana ia menghindari sorotan kamera. Nabila tau, memang tidak ada yang menginginkan ini terjadi, entah mengapa ia juga ingin dilihat. Ia tidak munafik, setidaknya untuk sebuah foto yang hanya ia lakukan sekali seumur hidupnya.
Ciuman dikening yang harusnya menjadi moment terhangat, berlangsung begitu hambar dan terasa dingin. Manik tajam menatap Nabila seakan mengintimidasi. Tatapannya menggelap seperti diselimuti kabut duka dan luka yang mendalam, Nabila bisa merasakan itu!
"Apa kamu menyukainya sekarang?"
Begitu dingin dan penuh penekanan. Apa ia pikir, kalau Nabila menginginkan hal ini terjadi? Bahkan ia sama terlukanya dengan Al. Sebenarnya ia yang paling menderita selama ini dengan segala kebohongan yang harus ia tutupi. Seandainya saja ia tau, mungkin Al akan berpikir dua kali untuk menyalahkannya.
Acara hanya dilangsungkan 30 Menit, tidak ada undangan spesial kecuali kerabat terdekat. Ini hanya sekedar formalitas, juga sebuah janji yang terlanjur ia sangupi. Setelah akad semuanya sibuk sendiri, tidak ada ucapan selamat atau bahkan kalimat semangat juga kata-kata motivasi yang ia dapatkan, terkecuali dari satu orang.
Nabila duduk diatas sofa sambil memandang kearah jemarinya yang tersemat cincin emas yang dihiasi satu permata putih, cukup simpel dan jauh dari kata mewah, namun membuat Nabila terkesima. Lama berdiam diri disana, kerabat yang hadir juga sudah 5 menit yang lalu meninggalkan tempat kediaman mereka. Kini langkah Nabila menuju kamar pojok yang ada dilantai 2. Tangisan bayi cukup menggema hingga wanita paruh baya kelimpungan sendiri. Nabila ingin membantu tapi apalah daya, ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya menggendong bayi atau bahkan menenangkannya.
Seseorang menabrak bahu Nabila dari belakang, langkahnya terburu-buru untuk menggapai sang bayi. Siapa lagi kalau bukan Al, ia membawa Haeqal kedalam pelukannya. Haeqal adalah nama yang sering ku usulkan pada Rauza saat ia hamil dulu, karna mengingatkan ku pada seorang pria yang sering kulihat dalam diamku. Tidak ada yang tau tentang hal itu kecuali Rauza, namun setelah tau fakta tentangnya membuat Nabila cukup menyesal telah mengenal Haeqal.
"Jangan halangi jalanku!"
Al membawa Haeqal kedalam kamarnya, Mama yang melihat kejadian itu hanya diam kemudian meninggalkanku yang masih mematung disana. Sampah, bahkan aku lebih hina dari sampah yang menjijikkan.
Brak!
Byur!
Gerak refleks yang cukup bagus. Tadinya sebuah makalah dengan tebal 1000 lembar menubruk sebuah meja tepat dihadapan Nabila yang sedang minum sambil melamun. Dan bersamaan dengan lemparan makalah, tangan Nabila yang memegang gelas refleks menyiram kearah depan. Sontak mata Nabila membola, ternyata orang tersebut adalah Sufi yang datang tiba-tiba khas dengan muka datarnya.
***
"Maaf, saya gak sengaja ... kak maafin ya!" Pujuk Nabila, tangannya dengan cekatan membersihkan jus delima dari wajah tampan Sufi.
"Cukup! Kenapa setiap kali aku bertemu denganmu, hidupku selalu sial."
"Kenapa menyalahkanku? Kan salah sendiri datang tanpa permisi," protes Nabila, ia tidak terima atas tuduhan Sufi.
"Siapa suruh melamun ditempat umum!"
Tanpa menjawab Nabila mencoba untuk membantu Sufi membersihkan noda yang menempel pada wajahnya, kemudian segera ditepis oleh Sufi, ia tidak suka atas kelancangan Nabila yang menurutnya sudah melewati batas.
"Aku cuma berniat untuk membantu," jelas Nabila pada Sufi.
"Tidak perlu!"
Jawaban yang cukup singkat dan jelas. Ia tidak menyukai atas kelancangan Nabila, bertemu dengannya saja sudah menjadi malapetaka tersendiri untuk Sufi, belum lagi dengan revisi makalah pak Al yang bikin istighfar, ditambah lagi dengan pertemuan yang sangat tidak elegan dan cenderung menyebalkan.
Walaupun Nabila juga mau bertanggungjawab, namun ia tidak terbiasa dengan kehadiran orang baru. Apalagi ia sudah mengacaukan kehidupannya dikampus yang dulunya damai, tentram dan sejahtera, sekarang malah harus berurusan dengan Mahasiswa baru yang satu ini.
Namun jika diingat lagi, wajah Nabila cukup asing bagi Sufi. Ia bahkan tidak melihat wajah Nabila saat ospek berlangsung. Apa jangan-jangan Sufi yang kurang teliti? Sepertinya iya. Mana mungkin diantara ratusan Mahasiswa baru, ia harus ingat semuanya.
"Kerjakan ini! Aku akan kembali sebentar lagi."
Ini adalah sebuah perintah jadi ia tak perlu menunggu persetujuan dari pihak kedua. Mengingat badannya yang lengket, Sufi mengarah ke toilet untuk mengganti pakaian sebelum kembali bergulat dengan revisi-an pak Al.
Sementara Nabila sudah mulai mengetik beberapa slide, beruntung ia dibekali tangan yang aktif dan cekatan. Dulu ia juga pernah masuk les komputer untuk mengasah kemampuannya dibidang teknologi. Mengetik sepuluh jari adalah kelas awal sebelum mengenal software dan hardware lebih dalam dan juga programing.
Nabila tidak enak hati dengan Sufi atas kejadian barusan, ia berniat untuk meminta maaf setelah Sufi kembali. Dalam waktu 5 menit Nabila mampu mengetik 10 slide, namun orang yang ditunggu tak kunjung datang.
Ting...
"Ke ruangan ku sekarang!"
Tanda seru di akhir kalimat menyadarkan Nabila bahwa itu sebuah perintah yang muktamat. Lalu bagaimana dengan ketikannya? Sementara Sufi belum kembali. Apa sebaiknya ia meninggalkan berkas ini disini dan menyusul ke ruangan Al.
"Apa hobby mu itu melamun?"
Pucuk dicinta ular pun tiba, tidak ada yang salah dengan pribahasa itu mengingat setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti bisa yang mematikan.
"Apa tidak ada diksi yang lebih lembut dari itu?"
Sementara yang ditanya malah pergi tanpa menanggapi pertanyaan dari Nabila. Tolong ingatkan Nabila untuk tidak berurusan lagi dengan makhluk yang satu ini, cukup satu makhluk saja yang memporak-porandakan hidupnya.
"Kerjakan ini dirumah saja nanti kirim file nya melalui email."
"Hmm... " balas Nabila cuek,
"Apa dulu kamu pernah masuk sekolah dasar?"
"Pertanyaan aneh, jelas iya. Kalau tidak bagaimana mungkin aku bisa kuliah."
"Bagus lah, jadi aku tidak berpikir negatif tentang orangtua-mu yang tidak menyokolahkan anaknya pendidikan dasar," jelas Sufi.
"Maksudnya?" Nabila tidak paham arah pembicaraan mereka kemana.
"Kesimpulannya, kamu pasti sering bolos saat kelas tata krama."
Benar-benar menjengkelkan, apa maksudnya mengatai Nabila tidak punya tata krama? Apa karna ia menjawab pertanyaan sufi dengan sebuah deheman? Kalau iya, berarti ia lebih parah dari Nabila dengan muka datar dan mulut pedasnya itu.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Nabila
RandomImpian terbesar Nabila adalah menjadi dokter anak, apalagi dengan sifat penyayang yang ia miliki membuatnya tidak kesulitan dalam hal mengambil hati anak-anak. Namun dibalik sifat penyayangnya itu ia termasuk pribadi yang tertutup dan kerap kali men...