Part 24

289 10 0
                                    


Selama seminggu Nabila menikmati kebersamaannya dengan Sufi juga Syangka. Ternyata mereka tidak seburuk yang Nabila pikirkan, apalagi mengenai Syangka, walau dengan pembawaannya yang cerewet malah membuat pertemanan mereka semakin berwarna.

Mereka, percampuran yang begitu kontras. Sufi dengan sifat dingin dan lebih banyak diam bertolak belakang dengan Syangka yang cerewet dan tak bisa diam. Sementara Nabila, ia termasuk orang yang humble walau masih membatasi.

"Eh, nanti pulang kuliah nongki-nongki nyok?"ajak Syangka.

"Terus tugas pak Saipul, bagaimana?"

"Gampang itu! Nanti kita sekalian buat tugas disana aja. Kalian pasti belum liat bagian atas caffe,kan? Dijamin cocok deh dijadikan markas."

"Bagaimana, bang?"

"Ya, terserah kalian aja."

Nabila dan Syangka sudah sepakat memanggil Sufi dengan sebutan bang, untuk menghormati Sufi karena lebih tua dari mereka. Sufi adalah mahasiswa tingkat akhir, jadi kebersamaan mereka tidak akan lama lagi, oleh sebab itu mereka sepakat untuk membuat kesan yang manis dengan Sufi diakhir masa perkuliahannya.

"Tuh, Bil! Abang aja setuju. Ikut ya!"pinta Syangka pada Nabila.

"Iya, tapi aku izin dulu."

"Makasih, Ibil ... sayang deh!"

Deg!

Panggilan itu mengingatkannya pada Rama. Dulu Rama sering mengejek Nabila dengan sebutan Ibil, karna menurutnya panggilan itu lucu. Padahal jika ditinjau dari segi arti, memang tak ada lucu-lucunya sama sekali. Ibil, yang bermakna Unta.

Rindu, itulah yang Nabila rasakan saat ini. Pria itu hilang bagai ditelan bumi, dan yang tinggal hanyalah kenangan.

Nabila tak menyalahkan Rama maupun Rauza atas apa yang dialami. Bagi Nabila, mereka tetaplah keluarganya. Ia tahu, mungkin saat itu Rauza sedang berada diambang keraguan juga kebingungan. Ia kalut dengan perasaannya yang begitu besar pada bang Rama sampai membuat matanya digelapkan oleh amarah.

Rauza yang Nabila tahu selama ini adalah kakak yang baik. Memang Nabila dan Rauza sempat terjadi cek cok saat Rama menyusul Rauza ke rumah mereka.

Setelah pertengkaran Rama dan Rauza di teras rumah, Rauza masuk ke dalam, lalu memaki Nabila dengan kata-kata kasar yang menyakitkan. Namun Nabila tak ambil pusing, karena ia tahu pasti Rauza tidak bermaksud seperti itu padanya.

Di malam yang sama, kemunculan mama dan ayah yang tiba-tiba membuat Nabila kalut. Apalagi saat melihat wajah mereka yang memerah menahan amarah. Sepertinya mereka sudah lama berdiri diambang pintu, dan melihat perkelahian dua bersaudara.

Saat Nabila melangkah untuk menyalami mereka, tangan Nabila dihempas keras oleh mama. Satu tamparan, mama layangkan pada Nabila. Ia cukup terkejut dengan apa yang baru saja ia terima, mama yang dikenalnya selama ini adalah seorang yang lemah lembut dan tak pernah berlaku kasar pada anak-anaknya, sekalipun mereka membuat kesalahan.

"Anak kurang ajar! Kenapa kau tega melakukan itu pada kakakmu, hah? Kurang baik apa kami selama ini?"

Nabila tertunduk mendengar makian mama, tanpa berniat membantah ataupun membela diri. Rama hadir dan malah menarik Nabila dalam pelukannya. Melihat hal tersebut membuat mama dan ayah semakin naik darah.

"Anak sialan! lepaskan Nabila sekarang!"

"Ternyata selama ini aku salah menilai tante! Nabila tak salah apapun disini. Yang salah itu aku, harusnya kalian kalau ingin bermain tangan itu bukan pada Nabila."

Sementara Rauza masih terus menangis dalam pelukan ayah. Dunia yang dirasakan Nabila saat itu benar-benar tak adil! Semua menyalahkannya, tanpa mendengarkan penjelasan Nabila terlebih dahulu.

"Aku dengan bang Rama itu ga ada apa-apa, ma," Tangan Nabila menggapai tangan mama untuk meyakinkannya.

"Diam kau! andai aja dulu kami membiarkanmu tergeletak bersama orang tuamu di jalanan, mungkin hal ini tidak akan menimpa putri kami.

Bahkan ia rela membagi kasih sayang kami denganmu, kenapa kau tega mengambil pacar kakakmu! Apa kebaikan kami selama ini tak ada artinya sama sekali untukmu Nabila?" Tangis mama yang begitu menyayat hati Nabila.

Air mata Nabila juga menetes bersamaan dengan tubuhnya yang lunglai. Yang Nabila tahu selama ini, mama dan ayah adalah orang tuanya. Lantas siapa orang tuanya?

Mengetahui fakta bahwa ia hanyalah anak pungut dalam keluarga ini, membuat hati Nabila merasa sakit bahkan lebih sakit dari tamparan mama layangkan. Orang yang selama ini ia anggap orang tua kandungnya.

"Kak, kakak percaya kan sama Nabila? Nabila dengan bang Rama itu tidak ada hubungan apa-apa."

"Menjauh Nabila! Kau mungkin tidak menyukai pria sialan itu! tapi dia mencintai kamu! bahkan dia lebih memilih kamu daripada aku, hiks ... hiks ...."

"Bang, katakan pada kak Rauza kalau Abang tak mencintai Nabila!"

Rama terdiam mendengar seruan Nabila. Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri, namun ia juga tidak sanggup melihat Nabila menangis padanya, ditambah dengan keluarga Nabila juga ikut menyudutkan Nabila.

"Maaf." Hanya kata maaf yang mampu terucap dari mulut Rama.

Rama sadar, kalau kekacauan ini sepenuhnya salah Rama. Kalau ia bisa mengatur hatinya kepada siapa ia berikan, ia juga tidak ingin terlibat dengan konflik percintaan segitiga yang menyakitkan. Tak hanya Rama yang merasakan sakit, bahkan gadis yang ia cintai turut menjadi korban akibat perasaannya.

"Kalian boleh marah ataupun ingin memaki, tapi jangan limpahkan itu pada Nabila. Ia masih kecil dan tak tahu apa-apa."

"Haha lucu sekali, apa kamu pikir kami akan tinggal diam melihat anak kami disakiti oleh kalian berdua?"

"Tante salah paham. Yang bertanggungjawab sepenuhnya atas masalah ini, itu saya. Bukan Nabila. Karna saya yang menaruh hati padanya, bukan Nabila."

Rauza masih terisak dalam pelukan ayah, ia meraung keras. Apalagi ia sedang dalam pengaruh alkohol.

"Cukup! Kita selesaikan masalah ini besok. Kau bisa pulang sekarang! dan Nabila, kau bisa masuk kamar," perintah ayah dengan nada tak terbantahkan.

"Tidak! ini bukan rumahnya lagi."Bantah mama.

"Karena kita memelihara gadis sialan ini, anak kita hampir menghancurkan dirinya sendiri. Aku tidak ingin kehilangan anakku, demi gadis ini!"

Brak!

Nabila terkejut saat Syangka menggubrak meja hingga membuat minuman sufi tumpah. Wajah Syangka terlihat begitu kesal, entah apa yang ia lihat di layar ponselnya sampai bisa Semarah itu.

"Dek Sya, kamu itu kenapa sih?" tegur Sufi pada Syangka.

"Aku tuh lagi kesal bang!"

"Iya, kesal kenapa?" suara Nabila.

"Ini loh, Bil. Sedari kemarin akun ini terus nyespam akun aku. Pakek DM emoticon lope-lope lagi!"

Masalah sepele pun jadi besar dengan Syangka. Bukankah hal biasa mengirim direct messenger pada seorang yang diidolakan.

Nabila dan Sufi saling berpandangan, lalu meninggalkan Syangka sendirian disana sambil terus mengamuk.

Tbc

Dear, NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang