DIA tidak bernapas. Aku seperti sedang menggendong boneka alih-alih seorang bayi manusia. Tanganku kesemutan. Aku tidak merenggangkan sedikit pun gendongan itu, sampai seseorang memapahku berdiri. Seorang wanita merebut bayi yang sedang kugendong. Aku menolaknya dan menyembunyikannya di balik lenganku.
Seseorang lain memelukku, aroma tubuhnya yang familier membuatku merasa seperti di rumah. Aku masih menggendong bayiku di dalam pelukan orang itu. Pandanganku kabur, tetapi ketika tangannya menangkup wajahku yang kaku, aku langsung menengadah. Bibirnya yang lembut bergerak-gerak mengucapkan sesuatu. Matanya sendu. Dia menangis.
"Mia? Mia?"
Lama kelamaan, suaranya mulai jelas. Aku memutar kepalaku, suster-suster berdatangan membawa peralatan khusus bersama Dokter Patilla.
"Semua akan baik-baik saja," kata Dokter Patilla mengambil alih bayi yang ada di gendonganku.
Aku masih melongo. Seseorang yang menyebut namaku berulang kali tadi, masih ada di sampingku, memeluk pinggangku, mengajakku mundur.
Dokter Patilla menempelkan stetoskop di dada bayiku. Pandanganku kembali kabur. Ini seperti de javu.
"Alya?" gumamku.
"Kau mengatakan sesuatu, Mia?"
Aku mendongak dan mata cokelat itu menyambutku. Ini de javu. Karena Marc ada di sisiku, sama seperti dulu.
"Marc? Alya?"
"Maksudmu Naya?"
Aku menoleh lagi ke arah dokter dan suster yang sedang menangani bayi itu. Dia melepaskan peralatannya. Wajahnya kecewa, menggeleng ke arahku.
"Dia anakku," bisikku. Napasku terengah-engah. Akhirnya tangisku pecah. Aku tidak bisa menahan rasa sakit yang menghujam dadaku.
Marc memelukku dengan sebelah tangannya. Dia bersandar pada tembok di belakang kami.
Ini salahku. Aku bukan ibu yang baik. Aku tidak bisa menjaganya. Aku payah. Aku membiarkannya mati. Dan Alya. Dan Ted. Aku tidak bisa diandalkan.
Air mata Marc menetes-netes di kepalaku, turun ke alisku. Bibirnya bergetar. Aku mendongak dan dia refleks mencium keningku.
Aku tidak bisa melepaskan tanganku darinya. Aku memeluknya erat sampai sendiku kaku.
"Maafkan aku, Marc. Ini salahku," bisikku.
"Bukan. Bukan." Dia mengangkat wajahku. Mencium pipiku berulang kali. "Jangan bilang begitu."
"Aku yang bersalah, Marc. Maafkan aku."
Dia tidak menjawab dan hanya memelukku. Aku menghirup aromanya dalam-dalam. Itu menenangkanku meski aku tahu aku tidak bisa lari dari kenyataan.
Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah Dokter Patilla bilang kondisinya semakin membaik? Lagi-lagi semua di luar kendaliku. Meski aku berada di dekatnya aku tidak bisa menghentikan hal buruk terjadi padanya.
Ini pengkhianatan terbesar. Segalanya terjadi begitu cepat bahkan sebelum aku sepenuhnya sadar dari mimpi buruk.
"Kemungkinan besar dia kelebihan zat besi, itu membuatnya gagal jantung," kata Dokter Patilla pada Marc.
Jelas saja dia bicara pada Marc karena aku tidak bisa diajak bicara lagi. Tanganku masih meremas kaus Marc.
Marc mengangguk lalu dia mengatakan sesuatu. Aku tidak bisa mendengar apa pun selain denging di kepalaku. Kakiku berat dan tidak bisa lagi menahan tubuhku. Aku merosot dari pelukan Marc ke lantai yang dingin. Mereka memanggil namaku, tetapi aku telah jauh ke dasar mimpiku. Aku adalah bayanganku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction
RomantikApakah kau pernah melaju 250 km/jam diatas motor bersama orang yang kau cintai? Aku pernah. Dan itu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan. Kekasihku Marc akan selalu melakukan hal-hal gila selama dia masih bernapas. Tetapi anehnya di saat bersa...