Ya, betul ini rilis ulang. Jika kamu sudah memberikan vote, kamu bisa meninggalkan komentar baru supaya aku tahu kamu ada di sini! :)
-------------------------------------------------------------------------------
"Kita tidak bisa memutuskan untuk mencintai. Kita tidak bisa memaksa orang untuk mencintai kita. Tidak ada resep rahasia, hanya cinta itu sendiri. Dan kita berada di belas kasihannya - tidak ada yang bisa kita lakukan."
― Nina George, The Little Paris Bookshop
***
MIA POV -
"Namaku Mia, aku dari Indonesia... aku suka bermain gitar dan bernyanyi," suaraku serak tapi aku masih terus melanjutkan, "Alya mengidolakanku, tapi dia sudah mati. Dan Marc..., dia telah memutuskanku."
Air mata akhirnya jatuh satu persatu membasahi pipiku. "Dia menciumku pertama kali di dapur apartemen, dia pernah membawaku terbang," kataku.
"250 km/jam di atas motor. Kami terbang."
Suaraku bergetar. Seluruh tubuhku bergetar, tapi aku masih mencoba bertahan. Aku mengambil napasku dalam-dalam.
"Dia―menemaniku menemui Alya untuk yang terakhir kali," kataku. "Setelah itu, kami―"
Hatiku tiba-tiba terasa mencelos. Seperti teriris sembilu, aku terluka di dalam.
"Kami..., kami melakukan...," aku menggigit bibir bawahku sendiri, menahan agar suaraku tetap stabil. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa mengatakannya. Kenangan itu terlalu indah sekaligus terlalu menyakitkan untukku sekarang. Jadi kuputuskan untuk melewatkan bagian itu, meskipun rasanya hampir tak mungkin untuk kulupakan.
Kemudian, aku menelan ludahku pelan. "Kami menginginkan anak laki-laki. Dia sangat menginginkannya," kataku. "Tapi dia memutuskanku. Dia bilang aku jalang."
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan sambil sedikit terisak. Lalu aku mengatur napasku.
"Lanjutkan Mia, kalau kau masih sanggup."
Itu dokter Sintia. Mata coklatnya menatapku serius di balik kacamata kotaknya, menutupi sedikit keriput di bawah kelopak mata. Rambut hitam sebahunya di gerai, membuatnya terlihat berusia 30 tahun, padahal usianya yang sebenarnya adalah 44 tahun.
Dia dokter psikiater yang ada di rumah sakitku juga. Aku sedang melakukan terapi jiwa―menjaga agar akal sehatku tetap lurus.
Kami melakukan terapi ini sebulan sekali, karena aku selalu melamun sejak pertama kali datang ke rumah sakit ini.
Perkembangannya? Nyaris tidak ada. Aku masih terus menangis jika harus menyebut nama Marc.
Aku mengangkat wajahku dan menatap dokter Sintia yang duduk di sampingku membawa kertas putih di atas papan alas untuk menuliskan progresiku. Sementara aku terlentang di sebuah kursi khusus.
"2 Minggu yang lalu dia datang kemari," kataku. "Dia memintaku kembali."
Dokter Sintia terkejut sambil menatapku. "Benarkah?"
Aku mengangguk. Lalu mengambil napas dengan susah payah, lalu melanjutkan. "Dia bilang, dia sudah berpisah dengan tunangannya karena dia masih mencintaiku," kataku. "Sama―seperti aku yang berpisah dengan tunanganku juga."
Aku menundukkan wajahku lagi, lalu mengusap air mataku.
"Sekarang aku akan menasehatimu sebagai seorang teman, maukah kau mendengarkannya?"
Aku menatapnya lagi.
"Kembalilah padanya, Mia," kata dokter Sintia. "Jujur saja, aku khawatir dengan kondisimu. Kau depresi berat karenanya. Meskipun kita sudah terapi berulang kali, namun hanya sedikit perkembanganmu. Aku yakin, jika kau kembali dengannya, kau akan kembali seperti dulu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction
RomanceApakah kau pernah melaju 250 km/jam diatas motor bersama orang yang kau cintai? Aku pernah. Dan itu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan. Kekasihku Marc akan selalu melakukan hal-hal gila selama dia masih bernapas. Tetapi anehnya di saat bersa...