"AKU menemukan Lucha di pinggir jalan, Mia." Suara Vinales lembut seperti beludru. Mata hitamnya menatapku lekat.
"Dia kabur," bisikku. Separuh karena sedih, separuh karena khawatir.
"Iya, sepertimu." Vinales terkekeh sedikit.
Marc yang berada di samping kami berdeham. Aku langsung mengalihkan pandangan ke arahnya dan mendapati matanya mengawasiku.
"Kapan kau menemukannya?" tanya Marc.
"Tadi pagi," kata Vinales. "Dia bilang, dia ingin berlatih motocross. Jadi kuantarkan dia ke sirkuit yang ada di Lieda."
"Kau mengantarkannya?!" Suara Marc berubah memekik. Setelah itu dia menarik Lucha.
Vinales bukan orang asing bagi Lucha. Aku ingat betul, pertemuan pertama Vinales dengan Lucha adalah saat dia masih ada di kandunganku. Waktu itu aku sedang kabur dari Cervera dan kedinginan di halte bis. Secara ajaib Vinales menemukanku. Meskipun dia sama sekali tak menyentuhku untuk menghangatkanku, namun jaket jeans navy-nya dulu yang berhasil membuat aku dan Lucha bertahan sampai pulang ke rumah.
Selain itu, saat umur Lucha tiga tahun, dia sudah mengenal Vinales sebagai teman Marc. Bahkan saat menonton Marc di sirkuit, sesekali dia melihat Vinales. Jadi tak heran, Lucha tak merasa takut pergi bersamanya.
"Dia membolos dari sekolah," kataku.
Vinales mengangguk. "Tadinya aku akan mengantarkannya ke sekolah, tapi dia marah dan mengatakan akan turun dengan paksa dari mobilku. Jadi kuantarkan dia ke sirkuit. Kami bermain motocross disana." Sebuah senyuman tercetak di wajahnya.
Jelas, itu membuat Marc kesal. Aku tak mungkin salah menduganya karena kulihat rahangnya mulai mengeras dan giginya bergemeretak.
"Dia sedang dihukum tidak boleh bermain motocross lagi," kata Marc.
Vinales mengedikkan bahunya. "Kurasa motocross bagus untuknya. Dia bilang dia mau ikut kompetisi sebulan lagi. Aku tak masalah jika harus mengajarinya."
"Kau... tidak perlu... mengajarinya!" Marc menekan setiap katanya dengan mata melotot di depan Vinales.
Sementara Vinales hanya senyum-senyum sambil mengelus kepala Lucha. "Aku sangat menyayanginya seperti anakku sendiri," kata Vinales.
Seketika napasku tercekat. Tubuhku beraksi lebih lambat dari pikiranku karena sebelum aku memutuskan hendak melakukan sesuatu, Marc lebih dulu mendorong Vinales.
"Papa! Jangan!" pekik Lucha.
"Marc, stop!" Aku memegangi lengan dan tangannya agar tidak memukul Vinales.
"Dia anakku!" bentak Marc.
"Yeah, aku tahu," kata Vinales. "Tapi untuk apa dia punya ayah yang tidak bisa mendukung cita-citanya?"
Aku dan Marc melirik ke arah Lucha. Sekarang matanya sudah sembab oleh air mata.
"Jika kau tidak mau mengajarinya, biar aku yang melakukannya," kata Vinales.
"Kau jangan bermimpi!" kata Marc masih dengan nada tinggi.
"Tanyakan saja padanya." Dagu Vinales menunjuk ke arah Lucha.
Lucha yang berada di belakang Marc perlahan beringsut mendekat dan bersembunyi di balik badanku. "Aku ingin bersama Paman Vin."
Jantungku seperti mencelos mendengarnya. Terlebih, Vinales menyambut jawaban Lucha dengan tawa puas. "Dia lebih memilihku daripada kau, Marc!"
"Berengsek!" Marc hampir saja mendorong Vinales lagi namun berhasil kutahan.
"Pergilah, Vin." Aku menatapnya serius. "Kau melewati batas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction
RomanceApakah kau pernah melaju 250 km/jam diatas motor bersama orang yang kau cintai? Aku pernah. Dan itu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan. Kekasihku Marc akan selalu melakukan hal-hal gila selama dia masih bernapas. Tetapi anehnya di saat bersa...