KADANG-KADANG aku merasa Marc Márquez itu separuh suamiku, separuh anakku. Terlebih lagi, akhir-akhir ini dia bertingkah manja. Itu aneh, karena secara teori aku yang sedang hamil, tapi lihatlah sekarang, tubuhku menghadap Lucha yang memelukku erat dari depan, sementara di balik punggungku, Marc merapatkan tubuhnya, menempelku seperti bayi beruang.
"Marc," aku berbisik lembut sambil menoleh ke belakang.
"Hm," sahutnya. Matanya masih tertutup rapat.
"Kau ada pemotretan, kan?"
"Hm..." Dia memelukku makin erat. "Malas."
Perlahan aku melepaskan pelukan Lucha dan berbalik menghadap Marc. "Kenapa malas? Kau masih lelah?" Aku mengelus rambutnya selembut mengelus bulu anak kucing.
Ada semacam keajaiban yang kurasakan saat Marc membuka matanya. Terdapat kilauan menakjubkan di matanya yang coklat. Marc. Ya Tuhan, di saat seperti ini dia masih sangat tampan.
"Selamat pagi," sapanya lembut. Dia mengecup bibirku sekilat kepakan sayap.
Aku tersenyum. Saat memandangi wajahnya untuk beberapa detik, aku tahu dia masih teramat lelah. Kemarin adalah hari yang sibuk untuknya. Memang tidak ada balapan, tapi dia harus mengunjungi event box repsol bersama Toni dan teman-temannya, lalu dia menghadiri sesi pemotretan dengan Alex untuk galecia kemudian menuju salah satu stasiun TV untuk wawancara.
"Kau masih lelah?" tanyaku. Aku merengkuh pipinya dan mengusapnya perlahan.
Marc mengangguk lambat-lambat.
"Tak apa, aku mengerti." Aku meraih tangan kanan Marc dan menciuminya. "Kemarin kau memberi banyak sekali tanda tangan kan? Kau pasti sangat lelah." Aku memijat tangannya perlahan.
Marc mengangguk lagi lalu memejamkan matanya. "Kadang-kadang aku hanya capek harus terus tersenyum di depan kamera."
"Aku tahu itu berat, Marc. Apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Marc membuka matanya dan menatapku tanpa ekspresi. "Entahlah, aku merasa... aku tidak ingin berhenti dari semua ini. Namun, kadang-kadang aku hanya merasa lelah."
"Kita bisa jalan-jalan kalau kau mau," kataku.
Marc menaikan alisnya. "Hanya kita berdua?"
"Kau berusaha menyingkirkan Lucha lagi? Dia anakmu." Aku mendengus.
Marc terkekeh. "Aku hanya merindukan saat kita pacaran dulu. Kau masih ingat? Waktu aku ngebut denganmu di lintasan..."
Aku langsung tertawa. "Ya, ya, Marc. Kau tak perlu mengingatkanku terus. Aku belum pikun."
"Aku ingin mengulanginya lagi. Melihat ekspresimu rasanya seperti energi baru untukku."
"Tapi aku kan sedang hamil, Marc. Tidak mungkin kita melakukan itu sekarang," kataku.
"Ya kau benar." Marc diam sejenak. "Kalau begitu bagaimana kalau kita ke La Rambla? Kita bisa menginap dua hari satu malam di hotel dekat situ."
"Woah, kedengarannya menyenangkan!" sahutku antusias. Ide Marc memang bagus. Berpetualang. Itu adalah sebagian besar gambaran hubungan kami, jadi pilihannya untuk mengunjungi La Rambla bisa dibilang pilihan yang tepat.
La Rambla adalah jalan besar khusus pejalan kaki sepanjang 1.2 km paling terkenal di Barcelona. Sepanjang jalan di La Rambla terdapat toko-toko kecil yang menjual makanan, barang-barang antik, souvenir, dan produk lokal.
Ditambah lagi dengan banyaknya penampilan para seniman jalanan yang menarik. Mereka tampil dengan kostum berwarna-warni dan memberikan hiburan kepada wisatawan yang berlalu-lalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction
RomanceApakah kau pernah melaju 250 km/jam diatas motor bersama orang yang kau cintai? Aku pernah. Dan itu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan. Kekasihku Marc akan selalu melakukan hal-hal gila selama dia masih bernapas. Tetapi anehnya di saat bersa...