MIA POV -
AKU tak pernah bermain seperti di depan orang banyak atau seperti di konserku saat bermain alat musik di rumah. Saat bermain alat musik di rumah, aku lebih menjadi diriku sendiri. Lebih nyata.
Kali ini jari-jariku jatuh menekan nada C, A minor, F, dan G. Lalu memadunya dengan empat not sederhana yang diulang-ulang lalu divariasi dengan perubahan nada alto sampai sopran. Siapa tahu aku bisa membuat lagu baru?
Saat aku tenggelam bersama irama musik, tiba-tiba sesuatu membuatku bergidig. Aku jadi merinding saat aku mendengar empat not alto yang sedang kumainkan dibalas dengan empat not yang sama namun dengan nada sopran.
Aku bersumpah, aku hanya sendirian di rumah ini. Maksudku, aku hanya berdua dengan Lucha, dan dia sedang tidur. Lagi pula, dia tidak mungkin bisa main piano kan?
Dengan cepat aku segera membengkokkan leherku ke kiri di mana suara itu berasal. Hampir copot jantungku saat melihat jari-jari kecil di atas tuts piano hitam putih.
"Lucha?!" pekikku kaget.
Ternyata itu benar, anakku Lucha. Umurnya sekarang sudah dua tahun. Kepalanya tak sampai menyamai kursi pianoku, namun dia mengangkat tinggi-tinggi tangannya dan bisa mencapai tuts piano. Ajaibnya, dia bisa mengulang empat not-ku dengan sempurna―padahal pandangannya terhalang karena tingginya.
Aku masih menatapnya tak percaya, sementara Lucha hanya tersenyum malu-malu. Aku mengangkat tubuhnya dan memangkunya. Untuk memastikan, kuulangi lagi memainkan empat not-ku dengan sebelah tangan, dan tanganku yang satunya memegangi tubuh Lucha.
Lucha memajukan badannya untuk menjangkau piano dan dia menekan tuts-nya mengikutiku. Sulit dipercaya, dia masih umur dua tahun. Tapi dia dengan cepat menangkap apa yang kuajarkan.
Kupikir, dia seperti Marc. Dia sangat cepat belajar. Otaknya encer dan berani mencoba. Kuajari dia not-not lain. Kutingkatkan kecepatan menekan tuts-nya dibarengi dengan nada dasar. Dia dengan mudah mengikutinya meskipun baru sekali melihat dan mendengar. Meskipun dia cukup kesulitan saat aku terlalu cepat, karena tangannya masih terlalu mungil untuk menjangkau semua tuts bersamaan.
Kupikir aku tak perlu menyembunyikannya dari Marc. Jadi setelah Marc pulang selesai balapan, kuberitahu dia.
"Lucha bisa main piano! Dia belajar sangat cepat, Marc. Dia pintar sepertimu."
Reaksi Marc kaget bukan kepalang. "Piano?" Lalu sedetik kemudian, kulihat perasaan kecewa dan marah di wajahnya. "Kenapa dia memegang piano? Harusnya dia belajar motocross di umurnya yang dua tahun ini, Mia!"
Aku mengernyit. "Kenapa begitu, Marc? Kau tidak boleh memaksanya. Lagi pula, dia masih dua tahun."
"Tapi kau tahu kan? Aku ingin anak kita jadi pembalap motocross. Bukan pemain musik, apalagi jadi artis. Jangan!"
Aku mendengus kesal. Kadang-kadang aku benci sifatnya yang over protektif pada Lucha. Dan benar saja, setelah itu Marc melarangku untuk main alat musik apapun di rumah.
Dia bahkan menutup pianoku dengan kain putih yang sangat besar seakan hendak menyembunyikannya. Lalu dia mengajari Lucha motocross kecil yang ia beli di Madrid beberapa hari yang lalu.
Aku yakin, perasaan Lucha sama sepertiku. Marah, kesal dan kecewa. Kau tahu? Rasanya sama sekali tidak enak dijauhkan dari sesuatu yang kau suka. Musik telah jadi bagian dalam hidupku. Mengalir di dalam darahku. Dan kupikir, Lucha pun begitu.
Jadi di hari ketiga Marc memaksanya mengendarai motorcross, Lucha melempar setirnya dan berlari marah menjauh dari Marc. Umurnya memang masih dua tahun. Namun dia seakan sudah bisa mengerti mana yang dia inginkan dan mana yang tidak dia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction
RomanceApakah kau pernah melaju 250 km/jam diatas motor bersama orang yang kau cintai? Aku pernah. Dan itu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan. Kekasihku Marc akan selalu melakukan hal-hal gila selama dia masih bernapas. Tetapi anehnya di saat bersa...