MARC tidak akan tinggal di rumah Barcelona. Begitu pun denganku. Bagaimana aku bisa tinggal di tempat kenangan itu tanpa menangis setiap hari? Bukan hanya akan selalu mengingat Marc, tapi juga Naya.
Aku mengantar Lucha ke Cervera sebelum Marc kembali dari bengkelnya. Beberapa hari lagi akan diadakan tes motor, tetapi aku belum tahu nasib karir Marc, pabrikan mana yang mau menerimanya.
Sepanjang perjalanan Lucha hanya diam. Dia memandang jendela dan aku juga tidak berani menyalakan radio.
Aku memarkirkan mobilku di luar pagar rumah Mama Roser. Lucha masih menekuk wajahnya.
"Kalau kau tidak mengatakan apa yang kaumau, bagaimana Mama bisa mengerti?"
Lucha menoleh perlahan. "Aku sudah mengatakan apa yang aku mau, tapi mama tidak pernah mendengarkanku."
Aku mengingat-ingat lagi apa permintaan anak laki-lakiku ini. Terlalu banyak permintaan. Spagetti jamur, sepatu baru, dan....
"Motocross baru?"
Dia mendengus kesal. "Bukan!"
"Bukan?" Aku mengernyit keheranan. "Itu kan yang sangat kau inginkan? Mama mengingatnya kok."
Dia berdecak lalu mengacak-acak rambutnya. Dengan sentakan keras, dia membuka pintu mobil.
"Tunggu! Jangan begitu!" Kututup pintunya lagi.
Lucha tak mampu berkutik. Lenganku menahannya. Dia hanya bisa menunduk. Ternyata wajahnya memerah sudah seperti akan meledak. Air matanya mengalir deras.
"Kau berjanji tidak akan berpisah dengan Papa...." bisiknya. "Aku minta kau untuk tidak berse... dengan paman Vinales...."
Lucha terisak-isak. Setiap katanya adalah cambukan untukku. Salah satu anakku telah meninggal dan anakku yang satu lagi kecewa padaku. Bisa jadi dia membenciku.
"Aku memang pengacau, aku bukan ibu yang baik," kataku.
"Bukan begitu, Ma..."
"Aku sudah melukaimu, aku minta maaf."
Dia menatap wajahku yang sama berantakannya.
"Bisakah kau kembali pada papa?"
Aku menarik napas dalam. "Lucha, kau harus mengerti, apa pun yang terjadi, kami akan selalu ada untukmu. Kau akan tetap memiliki orang tua yang utuh. Aku akan membelikanmu motocross baru setelah itu kita ke Indonesia. Oke?"
"Dengan papa?"
Aku diam sejenak. Entah dia memang keras kepala atau dia belum mau menerima keadaan ini.
"Tidak dengan papa."
Lucha diam sejenak. Dia menurunkan lenganku yang menahannya. Aku tidak punya kekuatan lagi sehingga tanganku terlepas darinya.
"Aku tidak mau pergi ke mana-mana kalau itu tanpa papa."
Dia turun dari mobil tanpa menoleh lagi padaku yang masih membeku menatap kepergiannya. Apa arti kepulanganku ke Indonesia bila tanpa Lucha? Aku harus mendapatkannya kembali.
Aku membuka pintu dan mengejarnya. Lucha sudah masuk ke dalam saat aku baru sampai di teras.
Ruangan hangat dan wangi empanadas menyambutku. Perasaan familier kembali menerpa. Saat-saat yang aman dan nyaman ketika Marc dengan sabar membimbingku bersosialisasi dengan keluarga besarnya ketika kami baru menikah satu tahun.
Saat itu hari natal. Salju turun di luar gila-gilaan sehingga minuman dan makanan panas di dalam rumah adalah berkat bagi siapa saja yang menemukannya. Ditambah lagi keceriaan pada malam natal itu-ketika semua orang bertukar kado.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan Fiction
RomanceApakah kau pernah melaju 250 km/jam diatas motor bersama orang yang kau cintai? Aku pernah. Dan itu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan. Kekasihku Marc akan selalu melakukan hal-hal gila selama dia masih bernapas. Tetapi anehnya di saat bersa...