(new) Series - Mia is Mine! EP#1 - Trip?

284 9 11
                                    

AKU mengepak barang-barangku sebelum kepalaku meledak. Anakku-Naya, tak henti-hentinya menangis. Entah apa yang diinginkannya. Anakku yang satunya lagi, Lucha, merengek terus menerus minta dibelikan motocross model terbaru setelah kami pulang ke Barcelona. Sementara suamiku, Marc Marquez, entah di mana keberadaannya. Aku mengecek handphone-ku untuk yang ke seribu kali, dia masih belum mengangkat juga.

"Di mana kau?" gerutuku.

"Por favor, Mamá! Por favor!"

"Diam sebentar, Lucha! Demi Tuhan!"

Aku menutup resleting tasku, menggendong bayiku yang masih berusia delapan bulan, lalu menggandeng bocah laki-lakiku yang tak hentinya menghentakkan kaki. Kami turun tangga dan ini yang aku benci. Mengucapkan salam perpisahan pada mertuaku.

"Tunggu Marc sebentar lagi," kata Mama Roser.

"Tidak apa-apa, aku bisa menyetir. Kalau Marc pulang ke sini tolong beritahu dia kami ada di Barcelona," kataku.

Aku mengecup pipi Mama Roser lalu segera meluncur menuju mobilku. Aku menaruh barang-barangku di bagasi dan sebelum Lucha ikut menangis, kupegang pundaknya dan mendorongnya duduk di jok belakang.

"Bisakah kau menjadi anak baik?"

Lucha diam saja.

"Pegang adikmu." Aku meletakkan Naya dalam gendongan Lucha lalu menuju jok pengemudi.

Meninggalkan Cervera tidak pernah menjadi hal mudah bagiku. Tahun-tahun berlalu, perpisahan dengan kota kecil ini sialnya selalu diiringi dengan masalah.

Aku menyeka air mataku. Terkutuklah kau, Marc di mana pun kau berada. Suami macam apa dia-tidak memberikan kabar seminggu padaku. Aku kesusahan setengah mati-meskipun itu bukan kalimat yang harusnya terlontar dari seorang ibu dan istri, tetapi aku benar-benar kesusahan. Aku tidak bisa tidur, tidak dengan dua anakku yang terus menerus menangis. Aku tidak bisa makan, yang akhirnya membuat berat badanku turun. Dan parahnya lagi, aku merindukan dia. Tentu saja. Apakah dia tidak merindukanku? Setelah semua hal yang terjadi, pikiran negatif itu selalu muncul. Aku menginjak gasku.

"Itu Papa!" teriak Lucha.

Aku menoleh, menginjak rem. Mobil Marc berpapasan dengan kami, berlawanan arah dan sekarang sudah hilang di belakang mobil lain. Aku melambatkan kecepatanku, menunggunya, tetapi dia tidak muncul juga di belakangku.

Kami sampai di depan rumah Barcelona. Naya masih menangis. Aku khawatir ada sesuatu yang salah dengannya. Mungkin lambung atau... otaknya. Membaca artikel di internet membuatku ngeri.

Lucha sudah tidak merengek lagi. Mungkin dia lelah. Dia langsung menuju kamarnya dan tidur.
Aku mengipasi Naya, menyusuinya, tetapi dia hanya tenang sebentar saja, lalu menangis lagi. Suara keras itu diiringi kening yang mengerut, mata yang tertutup, dan tangan mungilnya menegang. Aku tidak pernah melihat bayi segelisah ini. Kecuali... kecuali satu....

Pintu kamar terbuka kasar. Marc masuk ke ruangan. Saat ini menyakitkan untuk menatap wajahnya yang tampan. Bibirnya yang merah-yang seminggu lalu kucium-entah hari ini telah mencium siapa. Aku melengos ketika dia mendekat.

"Dari bandara aku-"

"Ke bar sebentar dengan teman-temanmu?" potongku kasar.

Dia menelan ludah. "Ya."

Akan lebih mudah jika dia menjelaskan mengapa seminggu ini dia menghilang, setidaknya itu bisa melegakan hatiku, berpikir bahwa dia menyesal sudah mengabaikanku, tetapi paling-paling alasannya sibuk mencoba motor terbaru, sibuk promosi, dan lain-lain.

"Handphone-ku hilang," katanya.

Oh, alasan baru.

"Hilang di mana?"

Mia is Mine! [Marc Marquez] Fan FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang