Bab 07 - Hal Sederhana Yang Membalut Luka

94 8 0
                                    

Kamu tidak akan menemukan kebahagian di manapun jika kamu berusaha mencarinya pada orang lain.

Kamu tidak akan pernah menemukan obat untuk lukamu jika kamu sibuk menggantungkan harapanmu pada orang lain.

Sampai kamu menyadari bahwa kebahagiaan sejatinya tersimpan dalam diri setiap orang.



Aku meletakkan tas sekolahku di lantai dengan asal, menghempaskan tubuhku ke atas ranjang dengan desahan napas dalam. Aku menengadah, menatap langit-langit kamar dengan perasaan lelah. Desahan napas berat untuk sekian kalinya keluar dari mulutku, mencoba mengeluarkan sesuatu yang begitu menggangguku. Namun hanya berakhir dengan desahan tak berarti. Sesuatu yang mengganjal itu tetap bertahan di dalam sana, tanpa beranjak pergi.

Aku menutup kedua mataku sembari mengatur napasku dengan lebih tenang dan teratur. Mengabaikan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhku. Terlanjur enggan beranjak dari tempat tidur untuk berganti pakaian. Ketika baru beberapa menit memejamkan mata, aku terenyak ketika mendengar getaran dari ponselku. Perlahan, aku bergerak bangun dengan malas, meraih tas sekolahku, mencari ponselku yang bergetar beberapa kali. Sebuah panggilan tidak terjawab dari nomor yang tak kukenal. Sedetik kemudian, aku menerima sebuah pesan dari nomor tersebut.

081*********

“Save nomor aku.

Devan ;)”

Mataku membeliak lebar saat membaca pesan singkat tersebut. Sebuah pertanyaan segera bercokol dalam benakku. Hanya satu orang yang saat ini ada dalam pikiranku sebagai jawaban atas pertanyaanku.

“DINDA!” geramku dengan kesal.

Aku tidak membalas pesan itu, memilih mengabaikannya lalu meletakkan kembali ponselku dan menghela napas lesu. Demi apa pun, aku tidak ingin berurusan dengan laki-laki semacam dia. Pada detik selanjutnya, layar ponselku kembali berkedip. Mulanya aku berusaha untuk tidak tertarik membuka pesan tersebut, namun pada akhirnya, tanganku membuka kotak pesan.

081*********

“Sampai ketemu di sekolah.”

Aku mengerang kesal, mengacak rambut dengan kasar. Berharap kehidupan sekolah yang tenang seperti yang aku impikan, tidak berantakan hanya karena seseorang bernama Devan Narendra.

Aku menelungkupkan tubuhku, memejamkan kedua mataku kembali dengan pikiran baru yang lebih mengganggu. Aku menyusun rencana untuk membuat perhitungan dengan Dinda di sekolah besok.




Dinda berkali-kali menarik lenganku, memaksaku untuk mengikutinya menuju ruang OSIS, sudah seharian ini dia terus membujukku untuk mendaftar menjadi anggota OSIS, katanya sekalian mencari gebetan. Aku mengela napas panjang ketika dia berhasil menarikku berdiri di depan ruang OSIS. Apa dia sudah gila? Demi untuk bertemu dengan si ketua tim basket sekaligus kepala bidang kedisiplinan di OSIS, dia mati-matian mengajakku bergabung dengan OSIS.

“Rin, kamu tunggu di sini aja bentar. Aku mau ketemu Kak Nisa dulu.” Dinda masuk lebih dulu ke dalam ruang OSIS untuk menemui Kak Nisa yang merupakan kakak kelasnya saat dia SMP dulu. Kak Nisa merupakan sekretaris OSIS, jadi Dinda mendapatkan informasi tentang pendaftaran anggota OSIS untuk semester depan darinya.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang