Apa yang membuatmu bertahan untuk tetap hidup hingga hari ini?
Aku belum menemukan apa yang ingin aku lakukan.
Aku belum melakukan semua hal yang kusukai.
Aku belum menjadi diriku sendiri.
Aku ingin tetap hidup untuk bisa melakukan semua itu.
Ada begitu banyak mimpi dan cita yang terus aku genggam hingga saat ini, itulah yang terus membuatku tetap hidup hingga detik ini.
•
•
•
•Hal paling menyebalkan menjadi miskin adalah saat kamu memiliki rencana besar untuk masa depan, kamu justru sibuk mencari uang untuk membayar rencana masa depan tersebut, lalu kamu akan kehilangan banyak waktu, dan tidak punya kesempatan untuk merencanakan masa depan. Pada akhirnya, kamu hanya punya satu pilihan untuk tetap bisa bermimpi besar. Mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Aku percaya itu. Tidak ada hal mudah yang bisa kita capai di dunia ini hanya dengan uang saja, karena kamu juga butuh yang namanya kesempatan dan keberuntungan.
Setiap akhir pekan, mulai dari pukul lima pagi hingga sepuluh siang, aku akan bekerja di toko milik paman yang terletak di pasar. Jarak rumah dengan pasar tidak begitu jauh, aku hanya perlu berjalan satu kilo meter untuk sampai di pasar. Karena rutinitas ini yang membuatku jarang menerima ajakan Dinda untuk pergi keluar dengannya ketika akhir pekan, sebab aku harus bekerja.
Aku mengangkat tanganku ketika merasakan sinar matahari terlalu terik siang ini, menutupi sebagian wajahku, meskipun aku tahu cara ini sama sekali tidak berhasil menghalau sinar matahari menimpa mataku. Aku berjalan dengan langkah lebar-lebar untuk meninggalkan pasar setelah menutup toko. Ingin cepat sampai ke rumah lalu membersihkan diri.
Jalanan sedikit penuh oleh kendaraan dan mobil. Bising suara klakson kendaraan ketika berhenti di lampu merah membuatku mendengus kesal.
Ada apa dengan mereka? Kenapa terus membunyikan klakson disaat lampu merah? Sepertinya mereka harus lebih diajarkan tentang kesabaran dan kedisiplinan.
Mengabaikan apa yang terjadi di sekitarku, aku terus melangkah sembari menundukkan kepala ketika langkahku mendekati sebuah toko sepatu. Di depan toko sepatu itu, ada seorang tukang parkir yang selalu memperhatikanku dengan tatapan mata yang sungguh mengganggu. Tak jarang dia bersiul menyapaku dengan nada kurang sopan. Aku menahan diri. Mengabaikannya adalah pilihan terbaik.
Aku hendak berlari untuk menyeberang jalan ketika tiba-tiba pergelangan tanganku di tarik oleh seseorang dari belakang. Aku hampir menendangnya jika saja tidak melihat senyuman dan kerlingan jahilnya yang begitu aku kenal.
“Kak Devan?” pekikku setengah terkejut bercampur kesal. Sedangkan dia hanya menampilkan senyum dua jarinya.
“Makanya kalau udah tahu panas pake topi.” Belum sempat aku melayangkan pertanyaan selanjutnya, dengan gerakan cepat dia memakaikan sebuah topi hitam di kepalaku. “Nah kalau begini, kan, enggak terlalu panas,” katanya.
Padahal warna hitam justru membuatnya jadi lebih panas. Tapi tetap saja, aku sedikit terpaku saat melihat sikapnya, terlebih lagi senyumnya yang sangat aku benci itu.
“Ikut aku bentar, yuk!” Aku tersadar saat dia menarik tanganku dan menuntunku untuk mengikutinya.
“Mau ke mana? Aku mau pulang!” kataku berusaha melepaskan genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Teen FictionRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...