Ketika kamu menyia-nyiakan masa sekarang, hal itu akan menjadi masa lalu yang kamu sesali sepanjang hidupmu, dan saat kamu berpikir; seandainya aku melakukannya saat itu-sudah terlambat, karena masa lalu adalah sesuatu yang tak bisa lagi kamu apa-apakan.
•
•
•Aku merasa tidak memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk berkumpul atau pun berbincang dengan temanku seperti orang lain pada umumnya. Sebagian besar waktu yang aku habiskan adalah belajar dan bekerja. Sejak kecil aku memimpikan sebuah kehidupan normal yang berjalan ideal. Lulus sekolah dengan nilai memuaskan lalu mendapatkan pekerjaan stabil dengan gaji yang layak. Aku belajar dengan keras untuk bisa mencapai impian itu, tapi seiring menjadi dewasa dan menatap kenyataan di depan mata, aku mulai dipenuhi keraguan.
Kakiku mengitari rak buku yang berderet-deret. Setiap raknya diisi oleh berbagai macam buku dan sampul dengan warna yang berbeda. Sejak kecil, aku memang suka dengan buku. Saat duduk di bangku SMP, aku bahkan memiliki keinginan untuk menjadi seorang penulis sastra.
Aku menyukai setiap kali menemukan diriku tenggelam dalam barisan kata. Seperti melihat banyak dunia baru dari berbagai sudut pandang berbeda. Aku bisa menemukan tiap keping diriku yang tersembunyi tanpa makna. Mungkin juga aku menemukan banyak hal melalui membaca, yang tak pernah kudapatkan dalam realita.
Aku berjalan menuju meja paling sudut di perpustakaan ketika ekor mataku menangkap Dinda tengah berjalan ke arahku. Aku mengerutkan kening, heran melihat dia yang kini duduk di hadapanku sembari menatapku dengan mata berbinar-binar. Seolah sedang mengharapkan sesuatu muncul dari telapak tanganku. Jika sudah seperti ini, biasanya dia menginginkan sesuatu dariku. Kali ini, apalagi yang membuatnya terlihat begitu senang setelah mendapatkan nomor Kak Angga dan Kak Devan?
"Kamu tahu enggak aku habis dari mana?" Dia menatapku dengan mata berapi-api.
Aku mengangkat kedua bahuku tak acuh. "Dari ngapelin Kak Angga lagi, mungkin?"
Dinda menepuk pundakku pelan. "Dari ruang OSIS!" serunya dengan nada sedikit tinggi. Beberapa anak yang ada di dalam perpustakaan melotot ke arah kami berdua karena suara Dinda. Aku melempar tatapan tajam padanya, namun dibalas cengiran tak bersalah. "Aku dapat info kalau ada perkemahan dan out bound yang akan dilaksanakan minggu depan buat anak-anak yang baru bergabung dan pengurus OSIS yang baru menjabat. Kamu ikut, ya, nanti?" Dinda sedikit mengecilkan suaranya.
Kali ini aku menatapnya beberapa lama. "Enggak mau dan enggak bisa!" kataku tanpa berpikir panjang.
"Nanti kegiatannya itu bisa bikin kita lebih akrab juga sama anggota yang lain sekaligus bisa deket sama kakak senior, gimana menurut kamu? Kamu bisa lebih deket sama Kak Devan dan aku sama Kak Angga."
Dinda berujar dengan penuh antusias. Kedua matanya seolah memancarkan cahaya. Aku tidak pernah melihatnya bersemangat seperti ini saat di kelas. Hanya ada dua hal yang membuat Dinda bersemangat. Membicarakan Kak Angga atau makanan.
"Seru apaan? Enggak mau, kamu aja yang pergi! Enggak usah ngajak-ngajak aku!" Aku menolak mentah-mentah.
Dinda mengerucutkan bibirnya beberapa senti. Tatapannya seperti sedang menatapku tak terima.
"Ayolah, Rin! Ini demi persahabatan kita!" Dinda menggerakkan naik turun kedua alisnya.
Aku melotot, tak terima. Pada saat seperti ini, dia pasti akan membujukku dengan embel-embel demi persahabatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Teen FictionRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...