Bab 14 - Anak Bukan Tropi Orang Tuanya

69 5 0
                                    

Beberapa orang tua terkadang lupa bahwa sosok anak kecil yang mereka besarkan memiliki impiannya sendiri.

Orang tua terkadang tidak menyadari bahwa anak bukanlah tropi ataupun investasi jangka panjang mereka.

Anak hanyalah seorang anak. Manusia kecil yang membutuhkan pelukan, bukan penghakiman.

Manusia kecil yang mengharapkan bahwa diri mereka patut untuk dicintai dan dihargai sebagaimana mestinya.




Dinda meremas jemarinya yang saling bertautan dengan perasaan cemas. Ia memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajah ayah dan ibunya saat membaca rapor miliknya. Kening ayahnya berkerut dalam dengan ujung mata yang berkedut, tatapannya menyorot tajam, membuat Dinda menunduk gugup di tempatnya.

Dinda berjengit di tempatnya saat ayahnya menutup kasar buku rapornya. Meski ini bukan pertama kalinya, Dinda masih tidak terbiasa dengan tatapan penghakiman kedua orang tuanya setiap kali mereka melihat nilai rapornya yang masih tidak sesuai dengan keinginan  mereka. Ayah dan ibunya selalu menuntutnya untuk mendapatkan nilai sempurna. Jika tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, Dinda akan dibandingkan dengan kakaknya yang selalu berprestasi di sekolah.

“Ayah sudah berapa kali bilang ke kamu, belajar yang rajin! Nilai kamu enggak pernah ada perubahan sama sekali. Memangnya mau jadi apa nanti kalau sekolah saja enggak beres begini?!” Ayahnya berujar dengan nada marah. Sedangkan ibunya hanya diam, mengamati Dinda yang duduk di tempatnya dengan wajah menunduk.

“Untuk semester depan, kamu harus lebih sering ikut bimbel.” Kali ini suara ibunya. Wanita itu tampak tenang, namun tatapannya terkadang lebih dingin dari ayahnya. Mungkin ibunya tidak sekasar ayahnya, namun bagi Dinda, ibunya tak berbeda dengan ayahnya. Wanita itu tak pernah sekalipun membelanya atau bahkan sekadar memujinya.

“Iya, Bu ...” Dinda menyahut dengan nada lesu. Sejujurnya, dia ingin mengatakan isi hatinya, namun Dinda tidak pernah memiliki keberanian untuk itu. Selama ini, dia hanya memendamnya, menahan semua tekanan dari orang tuanya sejak dia duduk di Sekolah Dasar.

“Tapi nilai Dinda juga enggak buruk.” Meskipun dia tidak sepintar temannya yang selalu menjadi juara kelas, Dinda tidak pernah mendapatkan nilai merah di rapornya. Dia bahkan pernah masuk ke sepuluh besar di kelasnya, tapi kedua orang tuanya tidak pernah puas dengan hasil usahanya. Mereka hanya melihat Dinda bodoh dan malas, sehingga tidak bisa memiliki prestasi seperti Dion yang selalu juara kelas sejak Sekolah Dasar. Semua hal tentang Dion, akan selalu menjadi bahan pembandingan pada Dinda. Sebab itu, pada akhirnya Dinda mulai merasa kelelahan sendiri.

“Enggak buruk, bagaimana? Kamu saja hanya bisa masuk dua puluh besar! Belajar lagi nanti! Ayah mau kamu berusaha lebih keras lagi! Lihat kakak kamu! Dia bahkan sekarang kuliah dengan beasiswa. Kamu juga harus bisa contoh kakakmu!”

Lagi. Untuk sekian kalinya, Dinda selalu dibandingkan dengan Dion. Kakaknya itu selalu menjadi tolak ukur atas semua yang dia lakukan, sampai terkadang membuat Dinda kelelahan karena tidak bisa memenuhi standar kedua orang tuanya. Untuk sekian kalinya pula, Dinda hanya bisa mengangguk dengan wajah muram. Bibirnya selalu terkatup rapat tanpa bisa mengatakan sepatah kata. Seolah jika dia mengatakan sesuatu, maka itu menjadi dosa besar sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kedua orang tuanya.

Bertepatan dengan itu, Dion yang baru pulang, menghentikan langkahnya di depan pintu mendengar nada suara ayahnya yang meninggi. Ada embusan napas berat keluar dari mulutnya. Ia melangkah lebih dekat ke ambang pintu, berdiri di sana untuk beberapa detik. Dia menatap Dinda yang sedang duduk dengan kepala menunduk di depan kedua orang tua mereka.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang