Aku ingin menghampiri sosok kecil itu, memeluknya yang meringkuk sendirian di sudut kegelapan, mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.
Pada sosok kecil itu, aku ingin mengatakan; maaf, karena dia banyak menangis sendirian, maaf, karena dia tidak memiliki bahu untuk bersandar, maaf, karena tak ada yang memeluknya, dan mengatakan padanya bahwa dia sudah cukup bertahan.
°
°
°
°2005
Suara petir dan kilat yang saling bersahutan, cukup membuat Devan takut hingga ia berlari keluar kamar dan menuruni tangga, mencari ayah atau mamanya untuk meminta mereka menemaninya. Kedua kakinya belum menapak anak tangga terakhir, namun sesuatu membuat langkahnya berhenti. Suara benda pecah yang disusul teriakan Erina itu terdengar mengalahkan suara petir yang beberapa saat lalu membuatnya berlari ketakutan. Devan menyadari, bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat.
“Jadi, kamu menyalahkan aku atas semua yang terjadi?!” Teriakan Hilman penuh kemarahan itu membuat Devan tertegun di tempatnya. Ketakutan yang dia rasakan seketika berganti dengan kegelisahan yang kini tergambar jelas dalam sorot matanya. Meskipun dia masih kecil, Devan bisa merasakan atmosfer berat yang mengelilinginya.
“Lalu kamu berkata bahwa ini salahku?!” Kali ini Erina balik berteriak dengan marah. “Hubungan kita dari awal itu memang sebuah kesalahan! Jika saja tidak ada Devan saat itu, aku pasti sudah lepas darimu dan dari perjodohan sialan itu!”
Hilman tertegun. Matanya bergetar dengan rahang mengeras, marah. “Jadi, kamu berpikir bahwa Devan itu juga sebuah kesalahan?” Ada nada terluka dari suara Hilman, namun tanpa mereka ketahui, Devan yang lebih terluka karena keegoisan mereka, diam-diam mendengarkan semuanya dalam diam.
“Kenapa? Bukankah kamu juga berpikir begitu? Kamu bertahan saat itu hanya karena ada Devan! Kamu juga tidak pernah melakukan tugasmu sebagai seorang suami ataupun Ayah!”
Atmosfer berat yang menyelimuti mereka, seakan mencapai kedua kaki Devan dan menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Anak laki-laki itu hanya bisa berdiri terpaku mendengar dan melihat kedua orang tuanya saling melempar kemarahan dan umpatan satu sama lain. Inikah yang orang-orang sebut sebagai keluarga? Bukankah keluarga adalah orang-orang yang bisa memberikan rasa nyaman dan membuatmu aman? Keluarga yang Devan tahu adalah orang-orang yang saling melindungi satu sama lain. Lalu, kenapa Devan merasa keluarganya hanya bisa saling menyakiti satu sama lain?
Devan tak pernah mengharapkan hal yang mewah dari kedua orang tuanya. Devan tak pernah meminta selalu ditemani tidur oleh ayah atau mamanya, Devan tak pernah meminta untuk selalu dibacakan dongeng, Devan bahkan selalu menurut apa kata kedua orang tuanya. Devan ingin menjadi anak yang baik untuk mereka, karena dengan menjadi anak yang baik dan penurut, kedua orang tuanya tidak akan bertengkar lagi. Devan hanya ingin keluarga mereka bahagia, seperti keluarga pada umumnya.
Pada akhirnya, menjadi anak sebaik dan sepatuh apa pun, Devan tak bisa membuat hubungan kedua orang tuanya baik-baik saja. Devan sering mendengar pertengkaran ayah dan mamanya hampir setiap malam, lalu Devan akan berpura-pura tak mendengar atau melihat apa pun. Dia akan segera naik ke atas tempat tidurnya, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut dan berusaha memejamkan mata, mengabaikan suara ayah dan mamanya yang sibuk saling menyalahkan diri atas takdir yang tidak mereka inginkan.
“Baik! Lakukan apa pun yang kamu mau! Aku juga sudah muak dengan hubungan ini!”
Devan mungkin hanya anak laki-laki berusia delapan tahun. Tapi dia bisa memahami bagaimana hubungan kedua orang tuanya. Setiap kali kedua orang tuanya bertengkar, keesokan harinya mereka akan duduk bersama-sama di meja makan dan melakukan rutinitas seperti keluarga normal. Pada mulanya Devan senang dan tak menyadari bahwa semua itu ternyata hanya topeng yang dikenakan oleh kedua orang tuanya demi membuat dia bahagia. Namun lambat laun, kedua orang tuanya mungkin juga sudah mulai muak untuk terus berpura-pura bahagia, seolah tak terjadi apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Teen FictionRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...