Bab 22 - Keyakinan Yang Mulai Goyah

15 3 0
                                    

Selama ini aku hidup dengan keyakinan pada diriku sendiri, tidak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri.

Tak ada yang bisa memahami seberapa banyak aku menahan luka dan rasa sakit, selain diriku sendiri.

Lantas, jika aku mulai kehilangan keyakinanku, bagaimana aku bisa mempercayai diriku sendiri?

****

April, 2014

Persiapan ujian kenaikan kelas sedikit menyita waktuku, meskipun aku berusaha menambah jam belajar di malam hari dan mengurangi waktu tidurku untuk mengejar materi yang kurang aku kuasai, aku masih kesulitan membagi waktu dengan pekerjaan di rumah dan sekolah. Aku sering pulang terlambat untuk mengikuti kelas tambahan, sementara pekerjaanku di rumah sama sekali tidak berkurang. Secara fisik aku merasa lelah, namun yang paling kurasakan aku lebih lelah secara mental. Terlebih lagi ketika paman dan bibi menuntutku untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan di toko. Aku ingin mengatakan bahwa aku kelelahan, namun disaat yang bersamaan, aku merasa tidak pantas untuk mengeluh sedikitpun.

Pagi ini, aku terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku memegangi sisi tempat tidurku untuk bergerak bangun saat merasakan kepalaku berputar. Semalam, aku sudah meminum obat sakit kepala, berharap pagi ini sakit kepalaku mereda, nyatanya kini sesuatu terasa seperti menusuk kepalaku berkali-kali. Aku terduduk di tepi ranjang, menatap tembok putih kamarku dengan perasaan linglung.

Ini adalah hari-hari yang aku benci dalam hidupku. Hari dimana aku menemukan tubuhku mulai tidak mengikuti keinginanku. Ada banyak hal yang harus aku lakukan, setiap hari, tak ada akhir ataupun ujungnya, namun di sisi lain aku juga harus menyadari bahwa ada batasan tubuhku bisa menampung semua rutinitas yang aku lakukan.

Aku berusaha menahan diri. Sesakit apa pun yang aku rasakan, aku akan berusaha sebaik mungkin menahannya. Meski ada kalanya aku berada di titik di mana aku menemukan diriku mulai jatuh sekarat, nyaris mati, berkali-kali ingin menyerah, sebanyak itu pula aku memiliki keinginan untuk tetap hidup yang jauh lebih besar dari pada keinginan untuk mati.

Aku sedikit memaksakan tubuhku untuk berangkat ke sekolah seperti biasanya. Lagi pula, jika aku hanya tinggal di rumah, tetap saja aku tidak bisa beristirahat. Pekerjaan rumah akan selalu ada untuk aku kerjakan. Dibandingkan menghadapi wajah kusut bibi ataupun wajah kecut paman, aku lebih memilih pergi ke sekolah. Rumah bukanlah tempat ternyaman dan aman untukku.

Selama pelajaran berlangsung, aku tak bisa berkonsentrasi sedikitpun, bahkan ketika Pak Erwin menerangkan tentang mata pelajaran Bahasa Indonesia yang biasanya membuatku bersemangat, kali ini aku benar-benar merasa tidak memiliki tenaga untuk sekadar mendengarkannya. Dinda berkali-kali mengajukan pertanyaan; apakah aku baik-baik saja? Aku hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Namun Dinda tampak tidak percaya dengan ucapanku saat melihat wajah pucat dan tubuhku yang sedikit demam, hingga saat bel istirahat berbunyi, Dinda memapahku menuju ruang UKS.

“Kalau sakit mending izin, enggak masuk, ngapain, sih, maksain diri terus.” Dinda menggerutu di sebelah ranjang UKS. Dia terus bersikeras untuk mengantarku ke UKS dan mengharuskanku menghabiskan jam pelajaran yang tersisa di sana.

Aku memejamkan mataku sejenak. “Berisik! Udah, pergi sana!” ujarku mengusirnya. Namun Dinda bergeming. Aku membuka mataku, menatapnya yang tengah memasang ekspresi khawatir. “Kenapa?” tanyaku memalingkan wajah. Melihat tatapannya saat ini, aku tahu ada sesuatu yang ingin dia katakan padaku.

Terdengar embusan napas pelan dari mulut Dinda. Sepertinya aku harus bersiap menerima kalimat ceramahnya.

“Bisa enggak, kamu itu jangan terlalu memaksakan diri? Biar aku yang ngomong ke Pak Herman kalau kamu sakit, biar mereka bisa bersikap lunak sama kamu. Gimana kalau sakit kamu makin parah, kan, malah nyusahin aku.” Dinda mengerucutkan bibirnya. Dia memasang wajah kesal, bersikap seolah-olah tak peduli, tapi aku tahu, dia sedang mengkhawatirkanku di balik nada kesalnya.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang