Bab 09 - Seseorang Yang Bukan Siapa-Siapa

102 7 0
                                    

Pada mulanya, dirimu bukanlah siapa-siapa, bukan seseorang yang kehadirannya menjadi bagian terpenting dalam poros semesta.

Lalu pada titik tak terduga, sosokmu menjelma menjadi sesuatu yang kehadirannya berarti dalam duniaku yang penuh luka.

Jika aku boleh meminta, bisakah kamu tinggal dan menetap selamanya?




"Kamu di SMS kenapa enggak bales, sih? Kan aku jadi enggak bisa ngerjain soalnya sama sekali." Dinda yang baru datang pagi ini sudah memasang wajah cemberut dengan bibirnya tertarik ke depan beberapa senti. Melayangkan protes karena pesan yang dia kirim ke ponselku tak mendapatkan balasan.

Dia memiliki kebiasaan menyebalkan. Sering mengirim pesan malam-malam hanya untuk menanyakan soal, istilah di mata pelajaran yang tak dia mengerti, sampai memintaku mengartikan beberapa kata dalam bahasa inggris yang dia tidak tahu. Aku sudah seperti mesin pencarian untuknya.

Aku mengembuskan napas panjang. "HP-ku hilang," kataku dengan kepala menyender di meja dengan wajah lesu.

Dinda yang baru meletakkan pantatnya, berpaling menatapku dengan wajah terkejutnya. "Kok bisa? Hilang dimana? Terus gimana dong?" Dinda terdengar lebih panik dibandingkan aku yang kehilangan ponselku.

Aku mengangkat kepalaku, menatapnya dengan wajah tak bersemangat. "Ada sama Kak Devan. Ketinggalan waktu wawancara sama dia di ruang OSIS." Aku menjelaskan. Kedua bola mata Dinda membulat.

"Kubilang apa!" Dia memukul lenganku, membuatku meringis pelan. Kalau sudah bersemangat seperti ini, aku akan menjadi samsaknya. "Makanya jangan benci berlebihan sama orang, kan malah jadi jodoh entar."

Aku menoyor pundaknya dengan kesal. "Jodoh dari Hongkong? Pokoknya aku mau kamu yang ambil HP-ku dari dia nanti pas jam istirahat." Aku kembali meletakkan kepalaku di meja dengan kedua lenganku sebagai bantalan. Aku sedang tidak punya tenaga berdebat dengan Dinda sepagi ini, apalagi meladeni tingkah menyebalkannya Kak Devan siang nanti. Tapi, memikirkan ucapannya yang terkesan ada benarnya, membuatku menjadi makin kesal. Kenapa semesta selalu saja membuatku berakhir berurusan dengannya untuk sekian kalinya?

Dinda menyipitkan matanya, menatapku lekat. "Jujur, deh, sejauh ini kamu enggak ada tanda-tanda jatuh cinta sama dia?"

Aku membulatkan kedua mataku, menatap Dinda tajam. "Enggak sama sekali!" kataku dengan cepat.

Dinda tersenyum penuh arti. "Masa? Dia orangnya baik loh sebenarnya."

Aku memalingkan wajahku menghadap tembok. Masa bodoh dengan pendapatnya soal Kak Devan. Bagiku dia tetap saja manusia paling menyebalkan.

"Ganteng juga, kan?"

Aku menutup mataku rapat-rapat, tak ingin menunjukkan reaksi apa pun terhadap ucapan Dinda.

"Oke, mungkin sekarang enggak, atau mungkin belum, tapi enggak tahu nanti, ya, kan?" Tanpa berpaling ke arahnya, aku bahkan bisa melihat senyum jahil di bibir Dinda.

Mau dia baik atau tidak. Aku tidak ingin membuat hatiku repot dengan menyukai seseorang. Aku sudah cukup mencintai diriku sendiri selama ini.




Matahari siang itu bersinar cukup terik. Membuat siapa pun tak akan bertahan berdiri lima menit di bawahnya. Termasuk si jago telat-Devan Narendra, yang lagi-lagi harus melakukan rutinitas setiap harinya karena dia terlambat berangkat ke sekolah. Sesekali dia mendengus keras merasakan sinar matahari yang menyengat kulitnya.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang