Untuk menyembunyikan lukanya, manusia sering kali menutupinya dengan senyuman.
Senyuman adalah topeng paling ampuh bagi manusia untuk saling menipu tentang isi hatinya.
Namun, apakah mereka menyadari bahwa lambat laun di balik senyuman itu, menyimpan sesuatu yang mengerikan, yang suatu waktu bisa merobek dirinya?
Eccedentesiast, si pemilik senyuman paling indah di balik luka yang bernanah.
Ketika seseorang terus tersenyum, bukan berarti dia selalu baik-baik saja.
•
•
•
•Aku turun dari atas motornya, berjalan menuju warung kaki lima yang sudah sering aku kunjungi. Kami memesan dua nasi gudek. Selama makan, tak ada percakapan di antara aku dan Kak Devan. Aku hanya fokus dengan makanan di piringku, berusaha untuk tidak terlalu memedulikannya.
“Kamu sering ke sini, ya? Sampe ibu penjualnya kelihatan akrab sama kamu.” Dia bertanya setelah menyelesaikan makannya.
Aku mengangguk singkat. Meraih gelasku lalu meneguk jeruk hangatku dengan perlahan. Aku mengulurkan tanganku. “Mana HP-ku?”
Dia tersenyum lalu mengeluarkan ponselku dari saku celananya, memberikannya padaku. “Lain kali, kalau kelupaan, tinggalin aja hatinya, bukan HP-nya.”
Aku mendelik tajam. “Ngomong apaan sih kakak ini?” Aku membuka ponselku, lalu berpaling menatapnya. “Kakak enggak buka-buka HP-ku, kan?” tanyaku penuh selidik.
Dia tersenyum tipis. “Ya iseng aja, habisnya kunci HP kamu gampang banget, mudah ditebak. Bayangin kalau yang nemu bukan aku, udah pasti dipake aneh-aneh tuh HP kamu,” ujarnya yang terdengar seperti pembelaan diri.
“Dasar, enggak sopan!” dengusku. Aku membuka kotak panggilan, menemukan lima panggilan tak terjawab dan dua panggilan diterima di tanggal yang sama dengan nomor berbeda. Aku kembali memandangnya dengan tatapan menuntut jawaban. “Kakak ngangkat telefon dari ayahku?” tanyaku dengan wajah tak suka.
Dia menggaruk tengkuknya, sedikit kikuk. “Maaf, aku pikir itu telefon penting dari ayahmu, mungkin dia lagi nunggu kabar kamu, jadi aku inisiatif ngangkat dan ngasih tahu kalau HP kamu enggak sengaja ketinggalan di aku, ya biar dia enggak kepikiran.” Dia menjelaskan dengan nada tenang.
Aku mendengus pelan. Bibirku terkatup rapat, tak ingin mengatakan apa pun padanya. Dia terlalu jauh ikut campur dengan hal pribadiku, meskipun apa yang dia katakan tidak sepenuhnya salah. Ayah mungkin saja sedang mengkhawatirkanku karena selama beberapa hari aku tidak menghubunginya. Aku menyimpan ponselku ke dalam tasku.
“Aku dengar, kamu keponakan Pak Herman, ya?”
Aku diam sejenak, menatapnya dengan tidak tertarik. Dia mengajukan pertanyaan yang selama ini berusaha kuhindari. “Bukan. Kami enggak memiliki hubungan saudara atau kerabat.” Aku hanya memberikan jawaban singkat. Sedikit malas untuk membahas tentang kehidupan pribadiku.
“Tapi, kamu di sini tinggal sama keluarga Pak Herman, kan?” Dia bertanya lagi. Ada kebingungan di wajahnya.
Sekali lagi aku mengangguk sebagai bentuk jawaban untuknya. Tak ingin mengatakan kalimat apa pun untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin akan menjadi pertanyaan lain dalam kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Teen FictionRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...