Bab 05 - Seseorang Yang Mengetuk Pintuku

99 7 0
                                    

Sebelumnya, aku tak pernah bisa mempercayai siapa pun dalam hidupku, selain diriku sendiri.

Sampai ketika kamu datang dan mengetuk pintuku dengan senyum yang mampu merobohkan semesta.

Untuk sejenak saja, aku bersyukur bahwa di antara puing luka, Tuhan membersamainya dengan segenggam bahagia, berupa pertemuan sederhana.




Aku memacu langkahku menuju halte untuk menunggu transportasi umum sembari melirik sekilas jam di pergelangan tanganku, berharap waktu yang aku habiskan untuk menunggu bus tidak memakan waktu. Kali ini aku memilih naik transportasi umum dibandingkan berangkat ke sekolah naik sepeda atau dengan paman yang kebetulan salah satu guru di sekolah. Lagi pula, kami tidak memiliki hubungan kerabat. Aku khawatir beliau merasa tidak nyaman.

Aku hampir saja mengurungkan niatku untuk masuk ke dalam bus yang tampak penuh sesak. Namun jika aku menunggu bus selanjutnya, itu akan memakan waktu yang cukup lama dan akan membuatku terlambat ke sekolah. Sembari mengucapkan permisi, aku berdiri di antara desakan orang-orang yang berdiri karena tak ada lagi tempat duduk. Beberapa dari mereka terlihat berpakaian rapi hendak berangkat kerja, beberapa kutemui anak sekolahan sepertiku, beberapa orang ada yang hendak pergi ke luar kota dengan barang bawaan mereka yang hampir memakan tempat di dalam bus.

Meski sudah terbiasa dengan transportasi umum sejak kecil, setiap kali berdesakan dengan penumpang di dalam bus atau angkot masih menjadi hal yang menyebalkan untukku, terlebih lagi bau keringat orang-orang sepulang kerja di siang atau sore hari, rasanya benar-benar mengganggu penciumanku. Sebenarnya jika naik sepeda aku bisa memilih rute lain yang lebih cepat untuk sampai ke sekolah, namun pedal dan rem sepedaku sering bermasalah di jalan, dan aku tidak ingin mencari masalah dengan terlambat karena hal itu. Mengingat karena sepeda yang aku gunakan milik bibi sewaktu muda, jadi usianya mungkin tergolong cukup tua dan tidak dirawat dengan baik, membuatnya menjadi berkarat di beberapa bagian.

Setelah bus sampai di depan sekolahku, aku mengembuskan napas lega, seperti perasaan yang baru saja keluar dari kamar mandi setelah buang hajat. Aku bergegas berjalan memasuki gerbang bersama beberapa anak yang tadi satu bus denganku. Terlebih dulu aku melihat papan pengumuman sekolah untuk mencari kelasku. Ketika aku menemukannya, aku bergegas berjalan menuju gedung seberang lapangan sekolah.

“Rinjani!”

Seseorang menyapaku dan menepuk pundakku dari belakang, aku menoleh dan menemukan Dinda menatapku dengan wajah cerianya. Dia tersenyum ramah. Aku hanya membalasnya dengan mengangguk singkat dan senyuman tipis.

“Di kelas mana?” tanyanya, mengikutiku berjalan melewati koridor.

“Kelas 10 IPS 1,” sahutku singkat. Aku terlalu malas untuk beramah-tamah dengan seseorang sepagi ini.

“Kebetulan, kita satu kelas!” Dinda menepuk tangannya dan berujar senang. “Aku kira kita enggak bakalan jadi temen sekelas.” Aku melirik singkat. Kurasa, dia adalah orang pertama yang mau menyapa orang dingin sepertiku.

“Sebelum masuk ke kelas, kamu mau, kan, ikut aku ke kantin?”

Aku menatapnya dengan aneh. Apa dia menyapaku hanya untuk mencari teman ke kantin? Sejujurnya, aku malas pergi ke tengah keramaian. Aku hampir selalu menghindar ada di tengah-tengah orang yang tak aku kenal, karena melihat tatapan mereka kadang lebih menakutkan dibandingkan menatap mata serigala yang sedang kelaparan. Terlebih lagi, aku tidak memiliki banyak energi untuk berinteraksi dengan banyak orang, aku mudah lelah untuk sekadar beramah-tamah.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang