Ada satu hal tentang kehidupan. Itu mungkin tidak bisa memberikan semua yang kamu inginkan.
Tapi terkadang, kehidupan menyembunyikan hadiah kecil yang tidak pernah kamu bayangkan.
Kuharap kamu bisa bertahan, agar kamu bisa menerima hadiah yang diselipkan.
•
•
•
•Aku menyodorkan sebotol minuman padanya. “Makasih buat tadi pagi.” Aku mengatakannya dengan sedikit canggung, lalu mengambil tempat di sampingnya. Mengikuti pandangannya yang tengah mengamati lalu lalang kendaraan di Alun-alun Kidul.
Aku memperhatikan beberapa pejalan kaki sepanjang lajur trotoar. Beberapa anak kecil terlihat berlarian di sekitar taman. Beberapa keluarga kecil terlihat bercengkerama di bawah sinar lampu. Ada pula sepasang kekasih yang sedang duduk di salah satu kursi taman, wajah mereka tampak serius. Aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi aku bisa melihat bahwa komunikasi mereka tidak berjalan lancar, karena setelahnya si perempuan terlihat kesal lalu beranjak pergi, sedangkan si pria tidak melakukan apa-apa, bahkan sekadar mencegah perempuan itu pergi.
“Cuma ini? Pelit banget,” cibirnya pelan. Aku mendelik mendengar suara menyebalkan itu melayangkan protes hanya karena sebotol minuman ringan yang aku berikan.
Aku mendecih pelan tanpa menatapnya. “Bilang aja selama ini nolongin karena ada maunya.” Aku percaya itu. Tidak ada manusia yang bersedia melakukan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Dalam hati kecil mereka, setidaknya mereka mengharapkan sesuatu dari apa yang telah mereka lakukan untuk orang lain.
“Coba deh kamu ingat, aku dua kali nolongin kamu pagi tadi. Pertama; saat kamu hampir jatuh, kedua; saat aku mengorbankan diri di hukum sama Pak Sapto sendirian. Bukannya minuman ini terlalu sedikit buat ucapan terima kasihnya?” Dia menggoyangkan botol minuman itu di depanku, seolah sedang mengejek.
“Jadi, enggak ikhlas? Kalau mau nolongin itu ikhlas, enggak usah pamrih,” kataku dengan nada kesal.
“Aku ikhlas, kok. Tapi, bukan berarti gratis. Enggak ada yang gratis di dunia ini, apalagi pertolongan dari cowok ganteng kaya aku.”
“Pede banget! Enggak perlu kakak tolongin kalau ujung-ujungnya minta imbalan.” Aku membuang muka ke arah lain, berusaha menyembunyikan senyum tipis di bibirku. Aku tidak merasa kesal ataupun tersinggung sebenarnya, justru entah kenapa aku merasa terhibur setiap kali bersamanya. “Tapi, tetep aja sih aku harus bilang terima kasih karena kakak sering bantu aku hari ini dan kemarin,” tambahku dengan nada tulus. Aku menyadari bahwa dia memang sering membantuku di waktu yang benar-benar genting.
“Oke, anggap itu pertolongan dari sesama manusia, aku enggak bakal minta biaya untuk pertolongan tadi. Tapi aku mau dibayar pakai minuman lagi nanti, yang ini enggak cukup,” ujarnya dengan nada ringan. Namun sesuatu terus menggangguku, hingga akhirnya kalimat yang semula ragu untuk aku utarakan, mengalir begitu saja dari bibirku.
“Kenapa kakak baik sama aku?” Aku menunduk, memilih memandangi rumput di bawah kakiku.
Dia tersenyum. “Aku udah bilang, anggap ini kebaikan yang aku lakukan buat sesama manusia.”
Aku ingin percaya ucapannya, namun sayangnya sesuatu yang lain dalam diriku menolak kalimat itu. Meski begitu, aku memilih bungkam, menutupi perasaan yang kini menjadi tak terarah. Melihat sikap dan apa yang dia lakukan padaku sejak pertemuan pertama kita di hari pertama MOS, begitu mengganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Teen FictionRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...