Sebuah permulaan yang tak pernah kuduga, mempertemukanku dengan sosokmu yang seperti pelangi setelah hujan reda.
Kita mungkin berbeda dalam cerita, termasuk bagaimana cara kita memandang dunia.
Namun yang kutahu, kita sama-sama memiliki luka, saling berjuang untuk tumbuh bersama, dan berdamai dengan rasa sakitnya.
•
•
•
•Di hari pertama MOS, kami di ajak berkeliling sekolah dan dikenalkan dengan berbagai fasilitas sekolah, mulai dari gedung kelas, aula, laboratorium kimia, fisika, bahasa, hingga komputer. Setelahnya kami mengikuti tes untuk pembagian kelas. Sedangkan untuk hari kedua diisi dengan permainan dan lomba antar kelompok. Setelah pengenalan para guru di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan permainan rantai kata dan seruan yel-yel kelompok. Setiap kelompok terdiri dari lima belas anak. Jika aku tidak salah menghitung, ada sekitar dua belas sampai tiga belas kelompok. Dari semua kelompok itu, aku ada di kelompok urutan tengah.
“Eh, besok, kan hari terakhir nih, kita nyiapin apa buat pentas seni?” Dika yang merupakan ketua kelompok bertanya ketika kami sedang berkumpul setelah selesai kegiatan. Selama technical meeting, dia adalah orang yang terlihat paling cakap dan pandai berbicara, makanya kami semua setuju untuk menjadikannya ketua kelompok.
“Gimana kalau nyanyi berkelompok?” Riko, anak laki-laki di kelompok kami yang terkenal cukup berisik, yang membuat suasana di antara kami lebih ceria dengan candaan garingnya. “Biar aku yang main gitar.” Ucapan Riko disambut pukulan ringan dari Rina yang duduk di sebelahnya.
“Main gitar apaan! Mana bisa kamu! Bedain kunci C sama D aja kagak bisa!” Rina menggerutu. Setelah Dinda, Rina yang paling sering beradu mulut dengan Riko. Melihat bagaimana mereka yang sudah saling mengenal sejak hari pertama, aku bisa menebak jika keduanya satu sekolah saat SMP.
Riko tak terima dengan kalimat Rina, dia menepuk dadanya dengan angkuh. “Heh! Begini-begini aku pernah belajar gitar. Mainin satu lagu mah gampang!” serunya seraya menjentikkan jarinya.
Di antara semua teman-teman kelompokku, mereka rata-rata tidak banyak berbicara, hanya beberapa saja yang mencolok karena sering bersuara dan mencairkan suasana, sedangkan aku dan kebanyakan teman yang lain lebih memilih setuju-setuju saja dengan apa pun keputusan Dika, tidak ingin repot dengan perbedaan pendapat. Kami hanya mengikuti setiap kegiatan dengan tenang.
Selagi kami sedang berdebat mengenai penampilan apa yang harus kita bawakan saat acara pentas seni besok, Kak Devan berjalan menghampiri kami dengan membawa sebuah kotak kardus kecil.
“Dari pada kalian cuma leha-leha, ambil undiannya buat penampilan pentas besok.” Kak Devan menyodorkan kotak kardus ditangannya.
“Ya elah, ini kita lagi diskusi buat penampilan besok, kak,” ujar Rendy dengan wajah sebal.
Aku melirik Dinda yang duduk di sampingku, wajahnya terlihat merona saat menatap Kak Devan.
“Biar aku aja yang ambil,” kata Dinda dengan penuh semangat.
“Undian ini buat pentas seni kalian besok,” terang Kak Devan sekali lagi. Tangan Dinda yang hendak terulur ke dalam kotak, urung saat memahami penjelasan Kak Devan. Dia mungkin takut jika salah memilih kertas, akan mendapatkan protes dari teman-teman.
“Berarti penampilan kita ditentukan lewat undian ini, dong?” Nesa bertanya dengan nada keberatan. Dia adalah yang paling cantik dalam kelompok dengan rambutnya yang panjang bergelombang dan wajah bulat kecil yang manis. Sering menjadi bahan godaan anak laki-laki di kelompok kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Genç KurguRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...