Bab 02 - Segalanya Berawal Dari Sini

181 7 1
                                    

Kata orang, luka itu seperti trauma yang tak akan bisa di sembuhkan.

Benar.

Luka itu sendiri adalah trauma.

Aku bertanya pada diriku. Lantas, bisakah aku hidup tanpa adanya luka?

Tidak. Tentu saja.

Luka seperti bagian dari diri kita yang tak bisa dipisahkan. Tak ada yang bisa menghindarinya. Kita hanya bisa menghadapinya dan merangkulnya, karena dengan begitu, kita akan menjadi seseorang dengan jiwa yang bertumbuh.


• 

Aku menggenggam erat tangan Ayah ketika kami turun dari motor dan berjalan memasuki gerbang sebuah Sekolah Dasar di desaku. Aku ingat bagaimana wajah cerah Ayah saat mengatakan bahwa ini adalah sekolah baruku. Mulanya aku tidak setuju dan ingin menolak, namun melihat senyum di wajah Ayah, aku mengurungkannya. Tak ingin membuatnya kecewa dengan penolakanku. Aku memandangi gedung di depanku. Sekolah ini sudah berdiri sejak kedua kakakku masih kecil, itu artinya usia sekolah ini memang sudah cukup tua, terlihat sekali dengan beberapa bangunannya yang sudah retak dan nyaris roboh. Sekolah ini adalah satu-satunya sekolah yang ada di desaku. Sedangkan sekolah yang lain letaknya lebih jauh berada di luar desa, sebab itu Ayah memutuskan untuk mendaftarkanku di sini karena mudah dijangkau dengan berjalan kaki.

Sebagian gedungnya terlihat sudah sangat usang dengan dinding kelas yang sudah retak dan cat yang memudar, hanya ada dua kelas yang terlihat baru saja direnovasi dengan lantai keramik, sedangkan kelas yang lain, masih berupa lantai semen. Lapangan sekolah masih berupa tanah kerikil berbatu dengan beberapa pohon besar mengelilinginya, tampak sedikit teduh di siang hari yang terik. Sebenarnya tak ada sesuatu yang buruk di sekolah ini, aku hanya perlu menyesuaikan diri dengan perlahan.

“Gimana menurut Rinjani?” Ayah menatapku dengan seulas senyum hangat di bibirnya. Dahinya sedikit mengerut, memperlihatkan dengan jelas keriput halus yang mulai memenuhi wajahnya. Dia juga mengatakan bahwa aku akan mendapatkan teman yang baik di sini, tak akan ada yang merundungku lagi. Sayangnya, Ayah salah. Setelah aku menjalani kehidupan sekolah di sini selama beberapa bulan, aku kembali mendapatkan gangguan bukan dari teman sekelasku, melainkan dari kakak kelasku.

“Enggak apa-apa, selama Rinjani tinggal di sini sama Ibu.” Setidaknya kalimat itu yang bisa mewakili perasaanku.

Ketika tiba hari pertama aku masuk sekolah. Ayah mengantarku ke ruang guru. Selama perjalanan dari tempat parkir motor menuju kantor guru. Aku bisa merasakan hampir semua mata para murid di sini memandang padaku dengan penasaran. Aku mengeratkan genggaman tanganku pada Ayah karena merasa tidak nyaman dengan pandangan mereka. Kebetulan saat itu jam pembelajaran belum dimulai, jadi masih banyak murid-murid yang berada di luar kelas.

“Rinjani baik-baik saja?” Aku mengangguk pada Ayah saat kami akan masuk ke kantor guru. “Rinjani punya banyak teman baru di sini.” Aku lagi-lagi hanya mengangguk mengiyakan perkataan Ayah.

Kami masuk ke dalam kantor guru. Kedatangan kami disambut dengan ramah. Aku hanya diam mendengarkan selagi Ayah dan kepala sekolah sedang berbincang dalam Bahasa Jawa. Salah seorang guru wanita berusia separuh abad dengan kerudung berwarna cokelat tua yang dia ikat ke belakang lehernya—berjalan menghampiriku. Senyumnya terlihat ramah dengan tatapan mata yang tegas. Dia memperkenalkan dirinya sebagai wali kelasku. Setelah Ayah pamit untuk pulang. Wali kelas mengantarku ke kelas baruku.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang