Bab 03 - Kebetulan Yang Disebut Takdir

126 8 0
                                    

Orang-orang sering mengatakan bahwa setiap perpisahan selalu diawali dengan pertemuan, sementara takdir selalu diawali dengan kebetulan.

Ketika seseorang memainkan perannya dalam kehidupan orang lain, itu juga bisa disebut sebagai takdir, bukan?



Di tahun 2012, aku diterima di salah satu SMA Swasta di Yogyakarta dengan jalur beasiswa, meskipun aku bukan murid yang pintar dengan prestasi yang membanggakan. Sebelum aku sampai di titik ini, aku sempat berseteru dengan Ayah dan Mbak Karina karena keinginanku untuk melanjutkan sekolah. Keluargaku bersikeras bahwa aku tidak perlu melanjutkan sekolah.

Pemahaman patriarki masih melekat erat dalam keluargaku, menurut mereka perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena kelak saat menikah hanya akan berakhir di dapur rumah. Sementara bagiku, untuk mengubah kehidupanku yang kurang beruntung, aku harus memiliki pendidikan tinggi. Supaya tidak akan ada lagi yang memandangku rendah hanya karena aku terlahir dari keluarga dengan keterbelakangan ekonomi.

Selama aku sekolah di Yogyakarta, aku tinggal bersama keluarga teman dari Mas Bram, beliau merupakan salah satu guru di sekolahku. Selain itu, aku juga melakukan kerja paruh waktu untuk membantu istrinya di toko. Aku melakukan semua hal yang aku bisa untuk bertahan demi melanjutkan sekolah. Ayah yang pada mulanya tidak setuju dengan keputusanku, pada akhirnya dengan berat hati mendukungku.

Aku melakukan banyak hal dengan tergesa pagi ini. Menyelesaikan sarapan pagiku dengan cepat setelah memakai seragam sekolah. Aku berjalan menuju rak sepatu dan mengenakan sepatu dengan asal-asalan. Melirik jam dinding, lalu berdecap pelan. Ini adalah hari pertamaku masuk ke sekolah baru di tahun pertama. Tentu saja, terlambat akan membuatku mencoreng masa sekolahku di tahun-tahun selanjutnya. Selama ini, aku selalu rajin berangkat lebih awal ke sekolah. Terlambat itu merupakan hal terakhir yang ada dalam daftar hidupku.

Aku bergegas berlari menuju halaman kiri rumah lalu menaiki sepeda. Jarak dari rumah ke sekolah hanya memakan waktu lima belas menit untuk ditempuh dengan bersepeda.

Sesampainya di gerbang, aku menarik napas dalam-dalam, mengatur ritme jantungku. Aku menitipkan sepeda di warung dekat sekolah karena aku sudah tidak punya kesempatan untuk masuk melalui gerbang sekolah.

Aku menelan ludah dengan susah payah saat melihat pagar setinggi dua meter menjulang tinggi di depan mataku, tampak begitu mengintimidasi. Aku tidak punya pilihan lain selain harus memanjat pagar karena pintu pagar sudah terkunci rapat dan dijaga oleh satpam. Ini adalah pengalaman pertamaku terlambat. Kebetulan ada pijakan untukku naik ke atas tembok. Aku hendak mengumpat ketika terdengar suara pukulan keras lalu disusul retakan tulang dari balik tembok. Saat melongok ke bawah, di sana ada dua laki-laki sedang terlibat pertengkaran. Aku hanya mendengus tak peduli melihat perkelahian keduanya.

Dalam satu gerakan singkat, kedua kakiku sudah mendarat di rerumputan, menginterupsi perkelahian dua laki-laki tersebut. Aku bisa merasakan tatapan mereka sedikit terkejut. Tak memedulikan keduanya, aku hanya melempar pandangan tak peduli ke arah mereka lalu berjalan menuju lapangan saat mendengar suara bel.

Aku tidak punya rencana untuk ikut campur urusan atau masalah siapa pun di sekolah ini. Aku hanya ingin menjalani kehidupan sekolah yang tenang lalu lulus dengan nilai yang memuaskan. Rencana hidup yang telah aku susun matang-matang, mungkin terdengar sedikit membosankan dan klise, namun dengan begitu aku merasa bisa melanjutkan hidup di tengah kekacauan ini.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang