Bab 08 - Riak Kecil Yang Membawa Gelombang

97 6 0
                                    

Aku tak memahami bagaimana cara takdir bekerja. Melalui cara yang sederhana dan tak terduga, ia mempertemukanku padamu.

Seseorang yang mungkin seperti pelangi yang sekadar singgah, atau mungkin lebih indah dari itu semua.




Aku menguap untuk kelima kalinya sejak pantatku menyentuh kursiku pagi ini. Bel masuk saja belum berbunyi, tapi rasa kantuk sudah dengan kurang ajarnya menyerangku sejak pagi.

“Rinjani, gimana? Udah kamu isi belum formulirnya? Buruan! Hari ini terakhir ngumpulinnya!” Dinda yang baru datang, pagi-pagi sudah merecokiku dengan heboh mengungkit masalah pendaftaran OSIS.

Dinda duduk di sebelahku setelah meletakkan tasnya, ia mengeluarkan lembar formulir yang sudah dia isi. “Mana punya kamu? Hari ini terakhir,” katanya lagi dengan nada mendesak.

Aku mengeluarkan formulir dari dalam tasku, memperlihatkan kertas tersebut yang masih bersih dan rapi, tidak ada tanda coretan atau apa pun di sana. Karena aku membiarkannya kosong. Aku tidak berminat untuk gabung ke OSIS.

“Lah, kenapa masih belum diisi? Aku isi aja kalau begitu!” Dinda mencari bolpoinnya. Aku segera menghentikan gerakan tangannya dan menatapnya dengan raut wajah mengantuk.

“Din, kalau kamu mau gabung, gabung aja tanpa aku. Aku udah capek soal kerjaan di rumah,” kataku setengah menguap. Aku tidur terlalu larut semalam karena harus begadang mengerjakan beberapa tugas sekolah, setelah sepulang sekolah aku terus disibukkan dengan pekerjaan rumah dan bekerja membantu di toko paman dan bibi. Aku bahkan hampir tak pernah tidur siang.

Dinda mengibaskan satu tangannya di udara. “Itu gampang, kamu enggak harus aktif, yang penting daftar aja dulu, hitung-hitung nambah pengalaman organisasi di rapor. Kamu, kan harus mempertahankan nilai kamu juga.” Dia mengedipkan kedua matanya. Pintar sekali dia membujukku dengan embel-embel prestasi.

Aku terdiam sejenak memikirkan perkataan Dinda yang ada benarnya juga. Aku lantas menatapnya dengan wajah tak acuh. “Ya udah, deh, terserah kamu isi apaan.” Dinda berseru senang mendengar jawabanku. Selagi dia sibuk mengisi lembar formulir, aku mengeluarkan bukuku. Aku harus mengusir rasa kantuk ini sebelum pelajaran pertama dimulai dengan membaca buku.

“Rin, ini motivasi dan alasan gabung OSIS aku tulis apa, ya?” Dinda mencolek lenganku.

Aku bertopang dagu, meliriknya sekilas. “Terserah kamu,” kataku dengan nada malas. Aku membalikkan halaman bukuku, mencoba untuk konsentrasi meskipun mataku rasanya berat untuk terbuka.

“Oke, udah selesai! Aku kumpulin ini dulu ya ke ruang OSIS.” Aku hanya mengangguk membalas ucapan Dinda.




Ketika aku dan Dinda menuju ruang OSIS, kami melihat sudah ada beberapa anak yang berdiri di depan pintu, tampaknya mereka juga sedang bergantian melakukan wawancara untuk bergabung OSIS. Aku menahan lengan Dinda sejenak dengan raut wajah ragu, memintanya untuk berhenti. Dinda menatapku dengan kening tertekuk dalam.

“Emang harus banget ya kita ikut wawancara juga? Cuma gabung OSIS doang kenapa udah kaya mau ngelamar kerja, sih.” Aku menggerutu padanya.

Dinda mengembuskan napas, bosan mendengar kalimat protesku terus-menerus. “Ya, ini tuh hanya formalitas aja, udah, ikutin aja alurnya.” Dinda menarik tanganku untuk mendekat ke ruang OSIS.

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang