Hidup bukan hanya perihal membedakan mana yang hitam dan putih.
Kadang kita perlu melihat sesuatu dengan cara pandang yang lebih luas.
Jika kamu hanya melihat hidup dalam warna hitam dan putih, bukankah kamu akan menjadi buta warna?
° ° ° °
Selama ini aku terlalu mudah menilai orang lain hanya dari tampilan luarnya. Terlebih jika orang tersebut sudah mendapatkan label khusus dari orang lain atas apa yang dia lakukan, seperti Kak Devan. Aku berusaha menjauh darinya bukan karena aku membencinya, hanya saja aku tidak ingin terlibat masalah dengan anak sepertinya. Tapi kali ini, aku harus menarik semua penilaian negatifku terhadapnya. Setelah menghilang selama tiga hari, dia tiba-tiba menghubungiku dan mengatakan akan menjemputku hari Minggu sore saat aku senggang.
Aku menatapnya dengan wajah bingung ketika kami turun dari motor di halaman sebuah panti asuhan. Ketika ia membuka helmnya, beberapa anak-anak yang tadinya sibuk bermain di halaman berhambur ke arah kami dengan teriakan senang. Aku berdiri di tempatku dengan gugup ketika dua anak kecil merangkul pinggangku dengan ramah. Aku bahkan belum mengenal mereka, begitu pula sebaliknya. Aku hanya membalas sapaan mereka dengan senyum canggung dan lambaian kecil.
Aku memperhatikan Kak Devan yang sedang mengobrol dengan anak-anak tadi, tawa lepasnya seketika membuat tubuhku membeku di tempatku berdiri. Sejak dia mengajakku berhenti di toko mainan dan memintaku untuk memilihkan beberapa mainan dan boneka, aku merasa aneh, namun aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh padanya. Ternyata dia mengajakku ke tempat ini. Sesuatu yang tak pernah aku duga sejak pertama kali mengenal sosok Devan Narendra.
Seorang wanita berusia sekitar akhir empat puluhan datang menghampiri dan menyambut kami. "Sekarang bawa pacar ke sini, biasanya sendirian," katanya dengan nada jenaka. Mendengar ucapannya, aku tersenyum dan memberikan salam dengan canggung.
Aku hendak meralat ucapannya yang menyebutku sebagai pacar Kak Devan. "Saya-"
"Temen, Bu Asih, tapi mungkin nanti jadi pacar." Kak Devan melirikku dengan senyum jahilnya. Aku melotot tak terima dengan kalimatnya, namun tak bisa membalasnya karena Bu Asih segera mempersilahkan kami untuk masuk.
"Oh iya, ini mainannya buat kalian, ya. Kakak cantik ini yang memilihnya." Kak Devan membagikan beberapa kantung yang berisi mainan yang kami beli sebelum sampai di sini. Aku hanya tersenyum lebar pada anak-anak yang kini bergantian mengucapkan terima kasih padaku.
Setelah mereka semua meninggalkan kami dan sibuk dengan mainan yang diberikan Kak Devan, aku berjalan mendekat ke sampingnya. "Pacar? Kakak cantik? Setelah enggak ada kabar selama tiga hari, apa itu bikin otak kakak jadi makin enggak tertolong?" cibirku pelan.
Kak Devan hanya tertawa lirih sembari mengangkat kedua bahunya tak acuh. Kami dipersilahkan untuk duduk di ruang tamu. Aku hanya duduk dengan perasaan setengah dongkol karena Kak Devan tak hentinya melempar godaannya padaku karena pesan yang kukirim padanya beberapa hari lalu. Jika tahu akan begini, seharusnya aku tidak perlu peduli dia masuk sekolah atau tidak. Tak berselang lama, Bu Asih yang pergi ke arah dapur kembali dengan dua cangkir teh di tangannya.
Kami menghabiskan hampir sekitar dua puluh menit untuk mengobrol ringan dengan Bu Asih. Dari sini pula, aku mengetahui bahwa Kak Devan sudah sering ke sini sejak ia masih SMP, karena kakeknya adalah pendiri dan pemilik panti asuhan ini. Setelah mengobrol dengan Bu Asih, kami memutuskan untuk pergi bermain bersama anak-anak panti. Mereka menyambut kami dengan ramah. Apalagi beberapa anak di sini sudah begitu akrab dengan Kak Devan.
Sejujurnya, aku memang bukan orang yang mudah bergaul, tapi bukan berarti aku anti sosial, apalagi menutup diri dan apatis seperti yang kebanyakan teman-teman menilaiku. Aku hanya merasa khawatir jika mereka tidak bisa menerima diriku yang seperti ini secara utuh. Aku merasa khawatir ketika mereka mengetahui kelemahan dan kekuranganku, mereka akan meninggalkanku. Karena itu aku memilih untuk tidak banyak memiliki teman ataupun memulai pertemanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youth
Teen FictionRinjani adalah gadis biasa yang memiliki banyak mimpi. Selain ingin melanjutkan sekolah, pindah ke Yogyakarta adalah jalan yang mudah untuknya melarikan diri dari luka karena kepergian ibunya. Ia ingin memulai kehidupan sekolah yang tenang dan lulus...