Bab 12 - Anak Perempuan Yang Masih Bermimpi Buruk

75 5 0
                                    

Mimpi buruk yang kukira akan menghilang seiring waktu.

Nyatanya masih terus menghantui tidurku di antara malam-malam panjang yang dingin.

Membawa diriku kembali menyusuri lorong-lorong yang gelap, seolah-olah di dalam sana, tak akan pernah ada cahaya.




Mataku bergulir menjelajahi setiap judul buku yang tersimpan di bagian rak bertuliskan Ilmu Pengetahuan Sosial. Ketika menemukan buku yang aku cari, aku segera mengambil dan membawanya ke meja yang berada dekat dengan jendela. Duduk di sana dengan bertopang dagu, membaca setiap baris kalimat dalam buku dengan cermat, lalu mencatat beberapa bagian yang aku butuhkan.

“Aku boleh duduk di sini?” Suara itu seketika membuyarkan seluruh konsentrasiku.

Aku mendongak, mendapati laki-laki pemilik lesung pipi itu berdiri di depanku. Selain kedua lesung pipinya yang tampak jelas tiap kali dia tersenyum, kedua matanya pun ikut tersenyum melengkung membentuk bulan sabit. Rambutnya selalu disisir rapi ke belakang dengan memperlihatkan dahinya yang lebar, sebuah kaca mata tebal bertengger di hidung mancungnya. Sekali melihat, semua orang pasti tahu bahwa dia tipe murid pintar kesayangan para guru di kelas. Namun dia jauh dari aura anak kutu buku dengan penampilan yang cupu, entah kenapa dia terlihat lebih keren dengan penampilannya yang rapi dan berkaca mata.

Aku mengangguk setelah menyadarkan diriku sendiri, dia menarik kursi di depanku dan meletakkan pantatnya di sana. Sejenak melirik ke sudut lain perpustakaan, merasa heran karena ada banyak meja kosong di perpustakaan ini, tapi kenapa dia memilih duduk di sini?

Aku menghela napas singkat, mencoba tak peduli dengan hal itu. Aku kembali fokus dengan tujuan awalku pergi ke perpustakaan, mencari bahan untuk mengerjakan tugas. Aku sama sekali tidak berniat ataupun berkeinginan untuk memulai percakapan. Kami hanya membiarkan kebisuan mengisi celah kosong di antara kami. Hingga pada beberapa menit selanjutnya, dia membuka suara. “Kemarin, tumben kamu dateng telat.” Dia meletakkan buku matematika ke atas meja.

“Lama nungguin angkutan umum,” jelasku tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun ke arahnya.

Tentu aku ingat kejadian di depan gerbang sekolah kemarin. Saat itu aku datang terlambat lagi karena begitu banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di rumah, terlebih lagi aku bangun kesiangan karena alarmku tidak berfungsi, dan hal terakhir yang menyebalkan adalah menunggu angkutan umum cukup lama.

Aku merasa bersyukur karena saat itu yang menjaga pintu gerbang bukan satpam seperti biasanya atau Pak Sapto, melainkan laki-laki di depanku ini. Mungkin karena dia ketua OSIS, jadi dia sering bertugas mendisiplinkan murid yang telat saat apel dadakan.

“Kenapa kakak nolongin aku kemarin? Kakak bisa langsung tutup pintu gerbangnya dan biarin aku terima hukuman seperti yang lainnya.” Aku berpaling, menatapnya dengan tatapan ingin tahu tentang alasannya yang membiarkanku lolos dari hukuman.

Terdengar tawa pelan mengalun dari bibirnya. “Seharusnya kamu ngerti kenapa.”

Aku kembali berpaling, menatapnya dengan satu alis terangkat. “Maksudnya?”

Masih dengan senyum yang sama di bibirnya, dia menatapku. “Enggak ada maksud, kok. Cuma sekadar pengen nolongin aja. Kalau kamu merasa berterima kasih, bisa kali traktir aku makan di luar kapan-kapan.”

YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang